Siang itu tampak begitu cerah di Stasiun Paddington. Sebuah hari yang begitu cerah untuk Thomas, namun tak begitu demikian untuk Viollette. Di bawah teduh topi ungunya, Viollette tampak memasang wajah muram. Ia berharap, seseorang yang dianti Thomas, tunangannya, tak jadi menginjakkan kaki di stasiun Paddington. Bahkan ia berharap, bahwa Thomas tak pernah mengenal orang itu.
Sepanjang perjalanan tadi, Thomas tampak begitu antusias dan semakin ceria seiring dengan dekatnya jarak tempuh dari rumah menuju stasiun. Thomas terus menerus mendendangkan lagu-lagu kasmaran. Lagu yang semestinya tak ia dendangkan begitu cerianya di hadapan tunangannya. Tapi Thomas tampak tak begitu peduli. Sesekali ia menambah cepat laju mobilnya karena tak sabar. Sesekali pula ia berdecak kesal karena radio di mobilnya mengeluarkan suara kasar tak nyaman di telinga justru di tengah-tengah lagu kesukaannya.
Viollette begitu heran melihat Thomas. Ia sebenarnya marah, tapi rasa cintanya kepada Thomas mengalahkan amarahnya. Ia sadar betul, bahwa ia tak semestinya berada di sisi Thomas.
Baca juga:
“Vio.. apa yang kau pikirkan tentangku sejauh ini?” begitu tanya Thomas sambil menyetir dan menghisap cerutunya.
“Thomas, kau adalah peternak paling sukses di London. Tak ada yang bisa menandingimu.” puji Viollette.
“Kau benar Vio. Tapi, apakah dengan keputusanku ini, aku akan menghancurkan relasi bisnisku dengan ayahmu?” tanya Thomas lagi. Kini nadanya terdengar serius.
“Tentu saja jika kau jujur kepada ayahku, mungkin sesaat ia akan marah. Tapi.. aku rasa masalahnya bukan itu, Thomas. Ia…”
“Viollette! Hentikan! Kamu sendiri yang mengatakan bahwa aku adalah peternak tersukses di London. Tak mungkin ia menolakku, sekalipun ia sudah ada yang memiliki! Bukankah apa saja dapat kulakukan saat ini?”
Viollette terdiam. Hatinya hancur berantakan. Tapi ia sadar akan kekurangannya. Kekurangan yang terus menerus didaraskan oleh Thomas bagaikan sebuah syair puisi kematian. Terus-menerus menggerus kepercayaan diri Viollette.
“Tapi lebih dari itu Thomas, aku selalu menganggapmu adalah pria yang baik. Tak semestinya kau melakukan ini.” Viollette menimbrung di tengah-tengah keheningan mereka di mobil.
“Aku mencintaimu sebagai seorang pria baik yang bertanggung jawab, Thomas.” lanjutnya.
Thomas terkejut dengan apa yang dikatakan Viollette. Beberapa kali Thomas mencuri pandang kepada Viollette. Tampak sedikit kebimbangan di wajahnya. Namun ia berusaha segera melupakan itu.
Langkah Viollette makin berat ketika mereka berjalan mendekati peron kedatangan kereta dari selatan. Seseorang ini amat dinantikan oleh Thomas. Sudah sejak lama Thomas ingin bersamanya. Hanya saja, Thomas terbentur oleh perjodohan.
Terdengar dari kejauhan, suara bergemuruh dari kereta api The Saint Cross. Kebul asap hitamnya mulai tampak seiring dengan bertambah besarnya suara kereta api. Sang roda besi itu terus melaju dan mengurangi kecepatannya seiring semakin dekat dengan peron kedatangan. Lokomotifnya berwarna hitam dan maroon mendominasi badanya. Kereta penumpang hingga sejauh 14 kereta ke belakang memiliki warna hijau, hitam, dan merah yang selaras degan lokomotifnya. Semakin mendekat dan semakin sesak dada Viollette rasanya. Ia tahu bahwa ia dan Thomas adalah pasangan yang lahir dari perjodohan. Bahkan pertunangannya ini dilakukan untuk saling menguntungkan bisnis ayahnya dan Thomas. Tapi satu hal yang ia ketahui bahwa sebenarnya ia begitu tulus mencintai Thomas.
Walau ia tahu, bahwa Thomas berpaling darinya karena ia tak secantik adiknya, Natasha.