Tingginya tingkat perpindahan para manajer ini menyiratkan rendahnya tingkat komitmen mereka terhadap perusahaan. Jelas, mereka pindah dengan pamrih tertentu, yaitu posisi yang lebih baik atau gaji lebih tinggi.Tentu saja, kuatnya pamrih pribadi dapat membuat mereka mengebelakangkan kewajiban-kewajibannya pada perusahaan yang akhirnya akan berdampak negatif pada efektivitas manajemen.
Kita sadari, bahwa marketing sesungguhnya adalah front-line yang menentukan suksesnya setiap kegiatan bisnis. Banyak kesalahan yang kita lakukan selama ini, karena lebih mementingkan pengembangan produk ketimbang orientasi pasar. Pasar dan pemasaran adalah titik pusat untuk tujuan dan pencapaian organisasi. Memang diakui, pasar tidak akan berartitanpa didukung oleh mutu produk.
Namun, mutu dalam produk tidak mungkin ada tanpa mutu di dalam proses. Ini pun tidak akan terjadi tanpa didukung oleh organisasi yang andal, yang terdiri atas SDM dan pemimpin terseleksi. Komitmen yang kuat — dari bawah sampai ke atas — merupakan pilar pendukung bagi semua aspek yang lain. Setiap pilar tergantung satu sama lain pada pilar-pilar yang lain. Kalau salah satu lemah, dengan sendirinya yang lain pun ikut menjadi lemah pula. Apalagi jika titik lemah itu berada di pusat sukses perusahaan: pada faktor komitmen tersebut.
Nilai ketiga adalah “rukun”, artinya: keselarasan, ketenangan, dan ketentraman tanpa perselisihan dan pertentangan serta bersatu — saling membantu. Dalam perspektif budaya Jawa, rukun adalah suatu keadaan normal dan ideal yang akan tercipta dengan sendirinya selama tidak diganggu. Dikaitkan dengan manajemen perusahaan, nilai ini dapat menjadi salah satu titik lemah karena sulit sekali untuk terus-menerus menghindari konflik. Kenyataannya, tidak semua konflik merugikan perusa haan (balanced viewof conflict).
Motorola adalah salah satu perusahaanyang mampu menggunakan konflik untuk tujuan-tujuan positif, yaitu meningkatkan mutu produk yang dihasilkan dan mempertahankan daya saing. Karena konflik sudah menjadi bagian dari kegiatan perusa haan, maka upaya-upaya penghindaran konflik bukan menjadikan kondisi perusahaan selaras, tenang, dan tentram. Sebaliknya, malah menciptakan api dalam sekam. Jika dibiarkan, api ini akan semakin besar dan suatu saat keluar dari sekam, lalu membakar seluruh perusahaan.
Sesungguhnya, budaya Jawa mampu mengakomodasi terjadinya konflik, karena ia memiliki nilai “sepi ing pamrih, rame ing gawe”, yang menekankan komitmen yang kuat pada perusahaan. Konflik tidak akan berdampak ke perusahaan kalau manajer memiliki komitmen kuat. Artinya, ia tidak akan mengorbankan perusahaan demi kepentingan pribadi. Hanya sayangnya, pendayagunaan kemampuan tersebut sering dihalangi sikap alergi terhadap konflik dan keinginan yang kuat mempertahankan status quo dengan anggapan: jika status quo dapat dipertahankan, kondisi rukun dapat tercipta dengan sendirinya.
Bersambung ke: