Langkanya sumber-sumber penulisan tentang sastra Jawa yang kontekstual dengan manajemen adalah kendala pertama dan utama sebagai acuan topik ini, meski hanya sebuah ilustrasi, ke dalam buah pikir yang utuh, komprehensif dan tajam. Barangkali ini juga mengisyaratkan bahwa pengembangan falsafah Jawa ke dalam berbagai aspek kehidupan belum banyak disentuh oleh para pakar bangsa sendiri,selain oleh ahli-ahli asing.
Materi dalam topik ini ibaratnya sebuah eksperimentasi ramuan obat yang belum tentu bisa menjawab secara tuntas gambaran tentang “Manajemen Gaya Jawa”, seperti halnya “Manajemen Gaya Jepang”, misalnya. Tetapi, harap dianggap bahan dasar yang perlu dikaji dan diuji secara cermat oleh mereka yang peduli. Atau, layaknya mengumpulkan batu yang terserak untuk merekonstruksi bangunan candi, perlu penataan oleh para ahli dengan menumpukdan merekatkannya.
Jika terdapat lubang — dengan merapatkannya, atau jika miring — dengan menegakkannya, jika konstruksinya goyah — dengan menguatkannya, bahkan jika perlu, mengganti batu-batu rapuh dengan batu yang lebih kompak.
Dapatkah budaya memengaruhi efektivitas manajemen? Para pakar manajemen dari sekolah-sekolah bisnis top di Amerika Serikat seperti Kottler, Heskett dan Schein, semuanya berpendapat bahwa memang benar ada kaitan antara budaya (kerja) dengan efektivitas (hasil).
Namun, bisakah budaya Jawa memengaruhi efektivitas manajemen? Hal ini pasti mengundang kontroversi. Tidak sedikit yang mendukung pernyataan tersebut. Indikasinya dapat kita lihat dari pernyataan para pakar manajemen kita ketika menanggapi peluncuran buku Manajemen Presiden Soeharto dulu sebelum lengser. Sayangnya, kita tidak dapat mengetahui, dukungan yang mereka berikan itu bersifat profesional ataukah politis.
Di lain pihak banyak juga yang tidak setuju. Alasannya, pertama, kesalahmengertian mereka akan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Jawa. Contohnya, nilai nrima. Secara harfiah nrima dapat diartikan sebagai menerima yang berkonotasi negatif, yaitu kepasrahan tanpa daya. Bagaimana manajemen dapat efektif kalau dasarnya adalah kepasrahan?
Kedua, perilaku kurang terpuji dari sekelompok orang yang mengaku sebagai orang Jawa. Mereka, secara sengaja atau tidak, mempraktikkan hal-hal seperti KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) dan ABS (asal bapak senang) yang membuat sebagian masyarakat menjadi muak. Karena terjadi terus-menerus dan dalam waktu lama, kemudian kelompok masyarakat tadi menganggap bahwa perilaku orang Jawa memang demikian. Dan oleh sebab itu dianggap sebagai nilai-nilai budaya Jawa.
Dalam menginterpretasikan nilai-nilai budaya Jawa dan menganalisis dampaknya terhadap efektivitas manajemen, tentu saja tidak mungkin mengungkapkan seluruh nilai budaya Jawa yang ada, karena jumlahnya sangat banyak. Ada empat nilai yang cukup mewakili, penting,dan relevan bagi manajemen.
Bersambung ke: