Pagi itu pasar bekas ramai seperti biasanya. Ada-ada saja barang-barang yang dijual di sini. Sebagaimana cerita tentang boneka bekas yang aneh itu bermula dari sini juga.
Mulai dari mur bekas sampai perabotan antik. Yang aneh, meskipun bekas, banyak juga yang masih berminat. Kata orang, ada kemungkinan 3 banding 10 kamu akan memperoleh barang bekas dengan kualitas baik. Tapi seringkali yang aku dapat 7 dari 10-nya. Sial. Aku memang tidak pintar memilih barang bekas.
Kali ini aku datang ke pasar bekas dengan niatan jalan-jalan. Kuajak adikku yang penasaran sama isi pasar bekas. Tampaknya… dia senang melihat keramaian di sini. Setiap kali dia melihat barang bekas yang unik atau antik, dia pasti akan berteriak, “Waah kaaak! Bagusnyaaa!” Sepertinya reaksinya agak berlebihan dengan pasar bekas ini.
“Dek.. umurmu itu sudah berapa sih?” tanyaku menyindir.
“Dua puluh. Masa sama adik sendiri nggak inget?” adikku membalas ketus.
Baca juga:
“Ya makanya nggak usah kayak anak kecil!” jawabku sambil melihat-lihat kanan-kiri.
“Eh kak. Boneka itu bagus banget yaa?” sepertinya adikku tidak mendengarkan aku.
“Yang mana?” tanyaku penasaran dengan boneka selera adikku.
Ia menunjuk boneka yang didudukkan pada meja antik di seberang kami. Sebuah boneka beruang berwarna cokelat. Berdasi kupu-kupu merah. Sangat bersih. Ukurannya cukup besar untuk dipeluk gadis seumuran adikku.
“Udah,, nggak usah dilihat…” jawabku lalu berpindah ke blok lain.
“Tapi kak,, aku pingin boneka itu.” adikku merengek.
“Kamu sudah nonton The Conjuring? Sudah nonton Annabelle?” tanyaku serius.
“Sudah kak. Tapi masa boneka itu juga?” tanya adikku dengan nada bodoh.
“Ya siapa tahu? Nggak usah ambil risiko lah!” jawabku sambil berjalan terus. Berharap adikku juga dengan cepat mengikuti aku.
Adikku terdiam. Memandang tempat boneka itu terpajang. Lalu dengan muka cemberut menyusul aku. “Tapi kak.. kalau beli di sini kan bisa ditawar murah.. Bagus lagi! Jarang-jarang ada yang jual boneka sebagus itu di pasar bekas.”
Aku pura-pura tidak mendengarnya. Sebenarnya bukan karena aku takut sama legenda Annabelle. Tapi karena memang aku nggak punya uang pada saat itu. Selain itu, aku bukan tipe orang yang pinter nawar. Meskipun harganya murah, pasti tetap saja mahal bagiku.
Sambil berjalan, aku geli sendiri dengan ekspresi adikku yang cemberut sambil berjalan.
“Papa pulang! Cindy! Papa bawa sesuatu buat kamu!” teriak Papa sore itu.
“Apa pa?” Cindy berlari dari kamarnya.
Tiba-tiba kudengar teriakan girang khas Cindy dari ruang depan. Aku yang sedang menyusun artikel hanya menoleh sejenak dan menunggu, kejutan apa yang akan diceritakan Cindy padaku.
Baca juga:
“Kak! Kakak!” benar saja, Cindy sekarang berlari ke ruanganku.
“Taraaa!” Cindy memamerkan boneka beruang coklat. Berdasi kupu-kupu merah. Itu boneka yang di pasar tadi.
“Oh..” kataku datar. Lalu melanjutkan pekerjaanku.
“Ah kakak ini nggak seru! Komen dikit napa?” rengek adikku.
“Bodo amat.” Jawabku. Singkat. Padat. Amat jelas.
Papa yang tadinya dari luar kini juga masuk ruanganku.
“Hai Rob! Ngerjakan apa?” tanya Papaku sambil menepuk bahuku.
“Biasa Pa.. Nyusun artikel. Tips kalau mau pergi ke pasar bekas. Salah satunya, jangan pernah ajak adik perempuanmu!” jawabku disusul reaksi gemas dari Cindy. Papa hanya tertawa.
“Papa beli itu di pasar bekas?” tanyaku setelah itu.
“Kok tahu? Tadi papa kan pulang lebih awal. Terus iseng ke pasar bekas mau nyari mebel antik. Eh malah nemu boneka ini. Lumayan lho harganya..” kata Papaku.
“Emang Papa beli berapa?” tanyaku heran.
“Lima puluh lima ribu doang!” jawab Papa.
“Harga aslinya?”
“Seratus enam puluh ribu..” jawab Papaku sambil tersenyum bangga.
Aku dan Cindy cuma menganga terkagum-kagum. Papaku memang pria yang amat sangat pintar menawar.
Ya setidaknya, boneka itu nggak menyeramkan kayak Annabelle, jadi aku setuju-setuju saja kalau Papa belikan Cindy boneka itu. Selain itu sepertinya bineka beruang itu memang lucu dan enak dipeluk.
Hari terus berganti. Cindy makin sibuk dengan kegiatan di sekolahnya. Tapi entah kenapa, sejak dia makin sibuk dia perlahan-lahan mulai berubah. Tidak seperti dulu lagi, dia sudah tidak manja lagi. Yang aneh, sesekali aku memergokinya menatapku secara tajam.
“Ma.. Mama ngerasa aneh nggak sama Cindy akhir-akhir ini?” tanyaku pada Mama.
“Aneh gimana Rob?” tanya Mamaku sambil memotong sayuran.
“Yaa.. aneh aja.. Nggak ceriwis kayak dulu.” Jawabku.
“Ya kan dia udah gede Rob. Masa mau disuruh kayak anak kecil terus?” jawab Mama sewot.
“Tapi aneh sungguhan Ma… Kayak, bukan Cindy yang sekarang ada di sini.”
“Hush! Nggak boleh ngomong kayak gitu! Sudah ah.. kamu bantuin mama masak aja sini!” kata Mama setengah panik.
Dari hari ke hari kuamati Cindy. Setiap pulang kerja kuamati apa yang ia lakukan. Rasanya dia juga bertambah kurus. Seringkali dia menolak makan malam juga dan mengurung diri di kamarnya. Setiap kali kutanya kenapa ia tidak makan, Papa akan menimpali kalau Cindy mungkin mau diet. Tapi terlalu aneh melihat Cindy semakin kurus. Yang lebih aneh, kenapa Papa dan Mama sepertinya tidak menyadari perubahan Cindy?
Akhirnya kuputuskan untuk mengintip ke kamarnya ketika ia tidak ikut makan malam.
Kulihat dari lubang kunci, ia tengah memeluk boneka beruang dari Papa. Dibelainya lembut boneka itu. Ditarik-tariknya dasi kupu-kupu merah yang terkalung di lehernya. Cindy menyanyi dengan suara lirih.
Siapa dirimu?
Siapa diriku?
Tidak ada yang akan tahu
Tidak ada yang akan sadar
Kamu di dalam
Aku di luar
Tidak ada yang tahu
Apakah kamu bisa keluar dari dalam sana
Tetaplah di dalam anak manis
Tetaplah di sana
Sampai aku bisa mencari teman untukmu…
Tiba-tiba saja Cindy yang di dalam menatap mataku dari dalam. Seketika itu juga aku merinding. Tubuhku kaku.
“PAPAAA! MAMAAA!” teriakku memanggil supaya mereka cepat ke kamar Cindy. Tapi ternyata, mereka sudah ada di belakangku.
“Pa! Ma! Coba lihat Cindy di dalam! Ada yang aneh sama Cindy!” teriakku pada Papa dan Mama.
“Apa yang aneh sama Cindy, Roby?” tanya Papaku sambi berjalan dan tersenyum kepadaku.
“Sepertinya yang aneh kamu Roby sayang..” ujar Mamaku juga sambil berjalan.
Tiba-tiba kudengar pintu kamar Cindy dibuka. Kulihat Cindy mengintip dari balik pintu.
Berjalan perlahan keluar. Menggendong boneka beruang itu.
Tiba-tiba mereka bertiga bernyanyi.
Ini saatnya
Saat bagimu
Bermain bersama
Dalam labirin tiada akhir
Seketika itu juga kulihat sesosok Pria berambut panjang. Mukanya hitam dengan sorot mata yang tajam. Tanpa kaki. Menuntun Cindy yang membawa boneka itu mendekatiku. Kedua orangtuaku sekarang memegangiku erat. Ketika kulihat kedua orangtuaku, wajah mereka sudah berubah. Mereka bertiga bukan orang yang aku kenal!
Ayo bermain
Bersama yang lain
Dalam labirin
Siksaan tiada henti
Kamu suka menulis? Pingin tulisanmu dibaca banyak orang dan mendapat banyak masukan dari kami agar makin berkualitas? Kamu bisa daftar jadi anggota BacaSajalah dengan klik link ini! Jangan lupa cek inbox/ spam box kamu dalam waktu 5 menit setelah kamu melakukan pendaftaran!
Baca juga: