Awal tahun 2021. Aku terbangun di kamarku. Tidak ada cahaya menembus. Hanya suara gemericik air hujan. Sepertinya baru saja hujan selesai.
Aku masih menatap langit-langit. Garis-garis yang menggambarkan batas antar kotak mulai terlihat jelas. Kapan terakhir kali langit-langit ini dicat? Rasanya sudah cukup lama? Atau memang kualitas catnya saja yang sepertinya tidak bagus?
Kutengokkan sedikit pandanganku. Kulihat bercak noda kecoklatan. Meski gelap, aku sudah hapal bagaimana tekstur noda itu. Hujan deras sepanjang minggu di akhir bulan Desember ternyata merusak langit-langit kamarku. Tapi apa peduliku?
Aku menatap pintu. Malas sekali rasanya. Lelah bekerja sepanjang akhir tahun. Ingin rasanya aku bermalas-malasan lebih lama. Tapi rasa mulas mendorongku untuk bangun.
Kubuka pintu. Kulihat pacarku, Caca, tengah menggendong keponakanku. Duduk di kursi yang berhadapan tepat di depan pintu kamarku.
“Eh, itu Om!” kata Caca pada keponakanku, Pan.
Pan baru berumur dua tahun. Sudah cukup lancar berbicaranya. Biasanya tiap pagi dia yang memulai keributan di rumah. Tapi kali ini dia terdiam. Menatap kamarku yang tengah terbuka, namun masih gelap di dalamnya. Tidak ada reaksi ceria sama sekali.
Aku tak begitu menggubris mereka. Sementara Caca masih berusaha memancing Pan agar kembali ceria. Ketika aku berbalik sebentar Pan hanya lemas, matanya terus menatap kamarku.
Segera setelah aku selesai dengan ‘urusanku’, aku kembali menuju ruang tengah. Maksudku menggoda Pan. Tapi tepat sebelum aku mendekatinya, Pan merengek, “Atuuuut! Atuuuut!” lalu menunjuk ke arah kamarku.
Hujan kembali deras. Mendung bergulung. Kamarku terlihat semakin gelap. Padahal ini sudah jam 6.30 pagi.
Aku mengintip ke kamarku. Tidak ada apa-apa. Pan menatapku.
“Oom.. Atut!” Pan kembali merengek.
“Mas, tutup kamarmu!” ujar Caca.
“Takut sama apa?” tanyaku pada Caca.
via GIPHY
“Atuut!” Pan kembali merengek. “Aju-nya.. A–tuh..!” tambah Pan.
“Baju?” tanyaku bingung. Aku membuka lebar-lebar pintu kamarku. “Baju apa?” tanyaku.
Baca juga: