“Ma, bangun Ma!” kudengar suara pria yang kucintai tampak tak tegar seperti biasanya. Suamiku terisak. Ia tenggelam dalam duka yang dalam.
“MA! WENI MA! HUHUHU!” begitulah ia berteriak tak seperti biasanya. “Weni meninggal, Ma! Maafkan papa! Maafkan papa! Maaf!” begitu terus yang ia ulang untuk berusaha tegar.
Aku kemudian menangis. Menunjukkan bahwa aku pun kehilangan Weni. Menemani duka dan kepedihan yang dialami suamiku. Suamiku memelukku dengan erat. Ia tampak begitu tak terima dengan kehilangan yang begitu tiba-tiba.
Aku hanya diam. Menunggu dengan benar apakah mahluk tak berwajah itu muncul lagi atau tidak. Sejauh ini ia tak muncul. Biasanya setiap aku membuka mata ia akan mengawasiku dari kejauhan. Aku agak lega. Mungkin perbuatanku sudah benar.
“Papa yang kuat ya? Kalau mama sembuh, Papa bisa dapet anak lagi kok!” ucapku begitu saja sambil tersenyum.
Suamiku tampak terkejut. Rona merah mulai memenuhi wajahnya, tapi kemudian padam. Lalu suamiku itu pergi dariku.
“Seandainya memang semudah itu mengganti sebuah kehilangan.” Ucapnya lalu meninggalkanku.
Sementara suamiku pergi, dokter dan para perawat masuk untuk memeriksa keadaanku. Aku membiarkan mereka memeriksaku. Aku yakin benar kalau setelah ini aku sembuh. Suara sirine di luar begitu ramai. Entah itu sirine polisi atau sirine ambulans yang berlalu-lalang masuk. Aku tak peduli. Aku hanya ingin segera pulang.
Semalaman aku menanti kembalinya suamiku. Tapi ia tak kunjung datang menemaniku. Apa saja yang ia lakukan?