“Mama pasti kuat.” Sayup-sayup kudengar suara suamiku. Napasnya terasa begitu dekat dengan telingaku.
“Sayang.. aku pingin jalan-jalan.” Pintaku. Suamiku dengan sigap mengambilkan kursi roda yang ada di sudut kamar.
“Pa, aku pingin jalan kaki aja. Capek baringan terus.” Suamiku lalu menghentikan langkahnya.
“Mama kuat? Weni bantu ya?” pinta Weni. Aku tak menggubrisnya.
“Mama pingin berdua sama papa aja.” Jawabku sambil menjulurkan tanganku, berusaha bangkit dari tempat tidur.
Sudah berapa lama aku di rumah sakit? Seminggu? Sebulan? Setahun? Rasanya lama sekali. Aku tak tahan lagi menjalani semua ini. Kemoterapi. Makanan tidak ada yang enak. Dokter hanya menyampaikan analisa. Aku tak ada kemajuan yang berarti.
“Pa, aku mau pulang.” Ungkapku ketika kami berjalan di tengah taman rumah sakit.
“Tapi kan Mama belum selesai pengobatannya.” Jelas suamiku.
“Aku mau pulang! Aku udah nggak tahan lagi!” aku ingin berteriak tapi sudah tak ada tenaga. Langkahku mulai gontai, dan suamiku menahan tubuhku. Tampak tak kesusahan karena sepertinya berat badanku berkurang drastis. Tubuhku kurus kering.
“Papa gendong ya?” ujar suamiku sambil berjongkok lalu berusaha mengangkat tubuhku. Sementara itu, aku melihat di ujung taman, sosok tanpa wajah itu lagi. Ia memang tak memiliki mata, tapi aku tahu benar, ia sedang mengawasiku. Berulang kali begitu. Hingga aku tak tahu lagi perasaan apa yang muncul, entah itu takut atau heran ketika melihatnya.
“Pa, cepet balik ke kamar ya?” pintaku dengan suara gemetar.
“Iya, Ma. Ayo kita ke kamar secepat kilat.” Jawab suamiku.
“Pa, papa jangan tinggalin aku ya?” pintaku lagi.
“Ya nggak lah! Udah nggak usah dipikirin. Ayo istirahat. Habis ini makan dulu tapi.” Jawabnya menenangkanku.
Hati kecilku pun berteriak tak ingin pergi meninggalkan suami yang kucintai sepenuh hati ini. Tapi entah mengapa aku merasa, sosok tanpa wajah itu adalah penyebab semua ini.
Dan.. aku merasa waktuku tak lama lagi jika ia di sini terus.
…