“All I can see is You.. Darling.. don’t be sad. I’m always by Your side…”
Kudengar seorang gadis berdendang. Tak asing lagi. Aku tahu itu suara siapa. Weni rupanya tengan melipat-lipat kertas menjadi burung bangau. Entah sudah ada berapa yang terletak di atas selimut hijau yang tengah menutupiku.
“Sayang, kamu sekolah aja nggak papa lho!” kudengar suara suamiku yang baru saja masuk ke dalam ruangan. Perlahan-lahan kesadaranku pulih.
“Nggak mau! Papa aja bolos kerja, Weni juga mau bolos njagain ibu!” bantah Weni dengan polosnya. Sementara suamiku tertawa kemudian membelai kepala putri kesayangannya itu.
“Pa? Kita di mana?” tanyaku lemah. Suamiku terkejut dan mendekatiku.
“Kita di rumah sakit, Ma. Mama nggak papa kok!” ujar suamiku sambil memijat-mijat lembut tanganku.
Kepalaku rasanya pening sekali. Semua rasanya masih buram dan seolah-olah semua suara masih menggema di kepalaku.
“Pa, Mama pusing banget. Sakit banget.” Keluhku.
“Iya papa tahu. Sebentar ya, habis ini mama minum obat dulu.” Ujar suamiku sambil mengelus-elus kepalaku. Membuatku merasa sedikit nyaman dan aman.
“Wen, minta tolong panggilkan dokter atau kasih tahu perawat kalau mama sudah bangun ya?” pinta suamiku dan Weni dengan sigap keluar dari kamar.
“Mama takut, Pa.” entah kenapa air mataku mulai mengalir membasahi pipi. “Mama takut!” kini tak kuasa lagi tangisku meledak. Suamiku memelukku. Tangannya yang hangat masih membelai kepalaku. Tak ada suara yang keluar dari suamiku. Ia hanya membiarkan tangisanku membasahi bajunya.
Tak lama dua orang perawat dan seorang dokter datang. “Puji Tuhan Bu Kristi sudah bangun.” Ucap dokter sambil tersenyum kepadaku yang masih menangis.
“Bagaimana bu?” tanya dokter, namun suamiku mewakili menjawab. “Katanya masih pusing, Pak.”
“Oooh, itu biasa. Nanti Bu Kristi makan dulu, lalu minum obat ya? Terus nanti kita cek lagi.” Ucap dokter sambil memeriksa beberapa hal yang dapat dimonitor. Sementara para perawat membantunya.
“Pak Beni bisa kita bicara di luar?” tanya dokter ketika selesai dengan berbagai urusannya. Suamiku mengangguk. Aku menahannya untuk keluar. Tapi ia tersenyum, “Wen, gantian jaga Mama dulu ya?” lalu pergi meninggalkanku.
Weni memegang tanganku. Tangan mungilnya mengulang apa yang dilakukan papanya padaku. Weni memijit lembut tanganku. Berusaha membuatku tenang.
“Mama makan dulu ya? Mau Weni suapin?” tawar Weni dengan manisnya. Aku mengangguk dengan lemas. Rasanya lapar, tapi rasa sakit ini membuatku tak ingin makan sama sekali.
“Moga-moga kalau Weni suapin, rasanya jadi enak!” ucap Weni membuatku sedikit terhibur.
“Lho emangnya menu makannya apa? Kok Weni bilang nggak enak?” tanyaku geli.
“Ya cuma bubur ayam sama tempe kukus sih, Ma. Tapi kata temen Weni apapun yang dimasak di rumah sakit pasti nggak enak!” jelasnya dengan lucu.
“Hihihi! Sini suapin Mama, pasti jadinya enak!” tantangku disambut dengan sendok yang diterbangkannya padaku.