“Pa!”
“Hm?”
“PA?!”
“Iya iya iya.. ada apa sayangku, manisku, kasihku, kamp-..”
“Udah nggak usah diterusin. Aku mau nanya.”
“Nanya apa? Papa nggak punya tabungan rahasia.” Jawab suamiku ketus.
“Bukan ituu.. Papa ngerasa nggak sih kalau Weni itu mirip sama aku?” tanyaku dengan nada yang amat sangat penasaran. Suamiku mendelik karena pertanyaanku.
“Lho bukannya malah bagus? Kalau mirip sama istri tetangga nanti kamu nangis.” Jawab suamiku menjadikan itu sebagai bahan lelucon yang absurd.
“Hmmh! Papa itu lho! Tapi menurut papa mirip banget nggak sih? Mirip! Plek!” balasku semakin ngotot.
“Mmm.. kalau dilihat-lihat sih ya.. Emang mirip banget. Kalau papa inget-inget foto Mama pas kecil dulu juga bener-bener mirip sama Weni sih.” Jawab suamiku.
“Tuh kan! Be-…” tiba-tiba sesuatu berusaha mendorong keluar dari kerongkonganku.
“Kenapa Ma?” suamiku terkejut melihat ekspresiku. Aku lari ke kamar mandi segera.
HOEKK! HOEKKKKK!!
“Keluarin aja semua, Ma.” Suamiku rupanya juga ikut berlari ke kamar mandi. Menepuk-nepuk bahuku. “Tadi Mama njajan apa?”
“Mama cuma masak di ru-.. HOEKKK!” aku tak sanggup menyelesaikan kalimatku.
“Sebentar. Papa buatkan teh hangat dulu ya. Habis ini diminum.” Suamiku lalu berlari ke dapur dan kudengar kelontangan suara gelas dan sendok yang tergesa-gesa ia ambil.
Aku terus muntah. Aku tak tahu apa yang salah. Rasanya tiba-tiba sekali. Semua rasa sakit ini begitu menyiksaku.
“Sudah, Ma?” tanya suamiku. Aku berdiri dengan lemas. Suamiku membantuku berjalan dan membawaku duduk di sebelah meja makan.
“Diminum dulu, Ma. Besok kita ke dokter ya.” Ajak suamiku. Perhatianku teralih kepada Weni yang sedang mengintip dari pintu kamarnya. Wajahnya tampak begitu khawatir melihatku. Ia berjalan mendekatiku.
“Are you oke, Mom?” tanyanya. “You look so pale!” lanjutnya.
“Mama nggak papa. Mungkin hanya masuk angin. Ayo Weni tidur dulu!” ajak suamiku menggandeng Weni ke dalam kamar. Sementara tiba-tiba sesuatu terasa menggerogotiku dari dalam dan membuatku berteriak begitu keras dan terjatuh dari kursi saking sakitnya.
“MA?!” teriak suamiku begitu khawatir. “Weni masuk kamar dulu ya? Terus ganti baju. Kita ke rumah sakit malam ini anter Mama ya?” Weni segera mengangguk dan masuk ke kamarnya. Sementara suamiku langsung membopongku ke dalam kamar supaya aku berbaring sejenak dan ia pergi menyiapkan mobil.
Satu-satunya yang terlintas di benakku adalah mitos yang kubaca saat SMA dulu, kematian ibuku, dan wajah Weni yang begitu mirip denganku. Tapi aku tak berdaya. Semua pikiran itu melayang-layang. Kulihat pintu kamar. Ada Weni menatapku dengan wajah yang begitu khawatir. Kemudian wajahnya tampak begitu panik. Entah apa yang ia lihat padaku, tapi ia segera berteriak memanggil papanya.
Kulihat suamiku berlari dengan cepat ke dalam kamar. Melihatku dan kemudian wajahnya juga menjadi panik. Suamiku berlari dengan kencang menghampiriku. Tapi semua sudah menjadi gelap. Semua suara kepanikan perlahan-lahan tak terdengar lagi.
..