Tempat Teraman Bernama Suami

Ani

Ketukan keras terdengar di pintu depan, memecah keheningan yang menyesakkan di dalam rumah. Dari balik tirai, Bimo melihat Ani dan suaminya berdiri di ambang pintu, wajah mereka tegang, mencurigai ada sesuatu yang tidak beres. Bimo menarik napas panjang, mengatur raut wajahnya menjadi setenang mungkin, lalu membuka pintu dengan senyuman tipis.

“Ani, pagi sekali kalian datang?” ucapnya datar, suaranya terdengar tenang meski matanya berkilat penuh perhitungan.

“Mana Mira?” tanya Ani langsung, tak memedulikan basa-basi. Sorot matanya tajam, penuh kekhawatiran. “Aku sudah menunggu kabarnya sejak semalam. Kenapa Mira tak menjawab pesanku?”

Bimo mengangkat bahu kecil, tampak acuh. “Mira baik-baik saja, mungkin dia masih istirahat,” katanya, menunjuk ke dalam rumah. “Dia di sofa, duduk di sana. Mungkin tidak akan banyak bicara, dia sedang tidak enak badan.”

Ani menatapnya tajam, tak percaya pada jawaban Bimo yang terlalu tenang. “Aku ingin bicara dengan Mira, sekarang.” Tanpa menunggu persetujuan Bimo, Ani melangkah masuk ke ruang tamu dengan cepat, mengabaikan apa pun yang Bimo katakan.

Ani melangkah mendekati sofa, sementara suaminya tetap berdiri di dekat pintu, memperhatikan mereka dari jauh. Mata Ani segera tertuju pada sosok Mira yang duduk diam dengan punggung kaku membelakangi mereka. Posisi Mira tampak tak wajar, rambutnya menutupi sebagian besar wajah, seperti boneka yang disusun rapi agar tampak hidup. Rasa tak nyaman menjalar di dada Ani, firasat buruk menghantamnya semakin kuat.

“Mira?” panggil Ani dengan suara tegas, nada curiga terselip di dalamnya. Tak ada respons. Mira tetap duduk dalam keheningan yang aneh, menambah kecemasan Ani. Aroma aneh yang menyengat hidungnya—bau samar darah yang tercampur wangi deterjen—membuat tubuhnya menegang. Sekilas, Ani menoleh ke arah Bimo, tatapannya berubah penuh kemarahan dan kecurigaan yang siap meledak.

“Kau lakukan apa pada Mira, Bimo?” Ani bertanya dengan suara gemetar menahan marah, namun juga sedikit berbisik, seolah-olah takut jawabannya benar-benar akan menyingkapkan sesuatu yang mengerikan.

Namun, Bimo tetap berdiri tenang, diam-diam menggeser posisinya ke belakang Ani. “Sudah kubilang, dia baik-baik saja, Ani. Kau terlalu banyak bertanya,” jawabnya tenang, dan sebelum Ani bisa bereaksi, Bimo mengayunkan palu yang sejak tadi ia genggam ke arah belakang kepala Ani dengan kekuatan penuh.

Ani samar-samar mendengar suara benturan yang bergema di sekelilingnya, namun tubuhnya terasa berat, tak bisa digerakkan. Dalam pandangan yang kian memudar, ia melihat bayangan buram suaminya yang berusaha melawan Bimo, kedua sosok itu saling dorong, saling memukul dengan kekuatan yang tak lagi ia bisa pahami sepenuhnya. Ia merasakan dunia di sekitarnya berputar pelan, terasa semakin jauh, semakin asing.

Suara-suara perlawanan itu perlahan meredup, digantikan oleh keheningan yang pekat dan menakutkan. Detik demi detik berlalu dalam sunyi, seolah-olah semua kehidupan di dalam rumah itu mendadak padam, terserap ke dalam kegelapan yang menelan segalanya.

Ani tenggelam dalam kegelapan.

Rasa dingin menyelimuti tubuh Ani.

Keheningan mencekam.

Tak seorang pun di luar sana tahu apa yang terjadi pada mereka.

Aresta Nia
Aresta Nia
Penulis. Story teller. Suka musik dan puisi. Aktif menulis sejak 2015.

Latest articles

Related articles

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!