Sebuah Mimpi
Pagi itu, sinar matahari yang masuk dari jendela terasa dingin dan kelabu bagi Mira, seakan-akan tidak cukup untuk menghangatkan suasana rumahnya yang mencekam. Di dapur, Mira menyiapkan sarapan dengan perasaan was-was, tangannya sedikit bergetar saat menyajikan makanan ke atas meja.
Tak lama kemudian, Bimo masuk ke dapur, langkahnya pelan namun pasti. Dia duduk di meja makan, memperhatikan Mira tanpa suara. Mata Bimo tampak merah, dan ada lingkaran gelap di bawahnya, seolah ia tidak tidur semalaman. Namun bukan itu yang membuat Mira bergidik; tatapan Bimo kini begitu dingin dan tajam, seperti sedang menilai setiap gerak-geriknya.
Mira mencoba tersenyum, walau lemah, lalu duduk di hadapannya. “Sarapan sudah siap,” katanya pelan, berusaha membuat suara terdengar biasa. Namun, Bimo hanya diam dan terus memandanginya dengan intens, membuat Mira merasa seolah-olah ia sedang diinterogasi.
Di tengah keheningan yang kaku, Bimo akhirnya membuka suara, “Aku mimpi aneh tadi malam.”
Mira terdiam, menunduk pada piringnya, namun penasaran dengan arah pembicaraan ini. “Mimpi apa?” tanyanya ragu-ragu, tak ingin memancing amarah Bimo lebih jauh.
Bimo mengernyit, mempersempit tatapannya seakan mencoba menembus pikiran Mira. “Aku melihat kamu… dengan seseorang. Seorang pria,” ucapnya dengan nada dingin yang menggema, penuh curiga dan kemarahan yang tertahan.
Jantung Mira berdegup kencang, namun dia berusaha untuk tetap tenang. “Itu… cuma mimpi, Bim. Nggak ada siapa-siapa selain kamu,” katanya dengan lembut, berharap bisa meredakan kecurigaan Bimo.
Namun, Bimo tidak terlihat puas. Dia hanya menatapnya lebih dalam, tatapannya seolah menuduh. “Aku tahu kamu tidak sepolos itu, Mira. Kalau kamu berani macam-macam, aku tidak akan diam saja.” Kalimat itu meluncur dengan nada yang begitu dingin, penuh peringatan. Meskipun tak ada satu pun bukti yang bisa Bimo tunjukkan, kecurigaannya yang mengakar dalam membuatnya tak bisa percaya lagi pada Mira.
Mira menelan ludah, menahan ketakutan yang semakin menguasai dirinya. Dia sadar bahwa kecemburuan dan obsesi Bimo sudah melampaui batas kewajaran, berubah menjadi sesuatu yang mengintimidasi dan menakutkan. Di balik tatapan itu, Mira tahu bahwa kecurigaan Bimo kini beranjak menjadi ancaman nyata yang tak bisa lagi ia abaikan.
Sejak percakapan menakutkan tadi pagi, Mira merasakan ada yang berubah dalam dirinya. Ketakutan semakin menguasai pikirannya, membayangi setiap gerak-geriknya di dalam rumah. Setiap kali dia melewati Bimo, Mira merasakan dorongan untuk segera berlalu, seakan takut bahwa tatapan dingin suaminya akan berubah menjadi tindakan.
Siang itu, ketika Bimo keluar rumah, Mira teringat percakapan Ani beberapa waktu lalu tentang sifat Bimo yang semakin gelap. Mira mengumpulkan keberanian untuk membuka kembali pikirannya, mencoba mengingat dan memahami lebih dalam perilaku Bimo yang semakin tidak terkendali. Dalam benaknya, bayangan masa lalu mereka perlahan muncul kembali, seperti potongan-potongan puzzle yang dulu tak pernah ia perhatikan.
Dia mulai menyadari bahwa sikap Bimo sudah menunjukkan tanda-tanda posesif bahkan sejak mereka pertama kali menikah. Dulu, Bimo sering bertanya tentang teman-teman Mira, tentang semua kegiatannya, dan selalu menuntut penjelasan atas hal-hal kecil yang Mira lakukan. Ia bahkan pernah memutuskan hubungan dengan beberapa teman lama karena Bimo tak setuju.
Namun, apa yang dulu dia pikir hanyalah kecemburuan biasa kini tampak jelas sebagai sesuatu yang lebih dalam dan kelam. Mira ingat saat Bimo pernah menyebut-nyebut tentang masa lalunya yang penuh trauma—tentang ketidakpercayaannya terhadap perempuan, dan rasa takutnya akan dikhianati. Bimo sering berbicara tentang pengalamannya dengan mantan istri, tentang perasaan tersakiti yang tak pernah ia jelaskan sepenuhnya.
Mira memejamkan mata, perasaan takut dan bersalah bercampur aduk di dalam dirinya. Apakah perasaan terluka Bimo telah berkembang menjadi keinginan untuk mengontrolnya sepenuhnya? Apa yang mungkin dilakukan Bimo jika ia merasa kecurigaannya benar?
Suara pintu depan yang terbuka mengejutkan Mira dari lamunannya. Bimo telah pulang, dan begitu ia melangkah masuk, Mira segera merasakan hawa dingin merayap ke dalam rumah. Tatapan Bimo saat itu memperlihatkan sisi kelam dalam dirinya, seolah-olah bayangan masa lalu itu kini bertransformasi menjadi bayangan yang lebih besar—bayangan yang tak akan membiarkan Mira lepas begitu saja.
Mira menyadari dengan ngeri bahwa trauma masa lalu Bimo mungkin telah mengendalikan setiap tindakannya sekarang, membawanya semakin dekat pada bahaya yang mengintai.