Bisikan Malam Gelap
Malam itu, hujan turun rintik-rintik, menambah kesunyian di sekitar rumah Mira. Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam ketika suara aneh membangunkannya. Sebuah suara dentingan halus terdengar dari luar, seperti benda keras yang terjatuh di lantai teras. Mira membuka matanya perlahan, tubuhnya segera waspada meskipun kantuk masih menyesakkan kelopak matanya.
Dia bangkit dari tempat tidur dan mendekati jendela kamarnya, menarik tirai tipis dan menatap ke luar dengan hati-hati. Mata Mira mengerjap saat menyadari bahwa lampu depan rumahnya tiba-tiba padam, membuat halaman depan tampak lebih gelap dari biasanya. Hanya ada bayangan samar dari pohon dan pagar yang tampak hitam pekat dalam remang-remang cahaya bulan yang tertutup awan.
Mira merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengawasinya dari kegelapan itu. Perasaan mencekam merayapi tubuhnya, membuat bulu kuduknya berdiri. Dia memandang ke sekeliling halaman, berusaha melihat jika ada sesuatu—atau seseorang—di luar sana. Tapi yang terlihat hanyalah bayangan yang bergerak-gerak di antara dedaunan yang basah oleh hujan.
Rasa takut yang tak jelas melingkupi dirinya, membuat napasnya semakin cepat. Mira tidak tahu dari mana perasaan ini datang, namun nalurinya berkata bahwa ada sesuatu yang salah. Ia merasa seperti diincar, meski tidak tahu siapa atau apa yang mengintainya. Rasa dingin merambat di sepanjang tulang belakangnya.
Setelah beberapa saat, Mira menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Ini hanya perasaanku saja,” bisiknya pelan. Namun jauh di lubuk hatinya, Mira tahu bahwa ketakutan ini bukan tanpa alasan.
Dia perlahan mundur dari jendela, lalu kembali ke tempat tidur, berusaha untuk menepis rasa was-was yang menggantung di pikirannya. Namun, malam itu terasa begitu panjang, dan ketenangan sulit ia dapatkan.
Mira berbaring di tempat tidur, memandangi langit-langit yang gelap, berusaha menenangkan pikirannya. Namun, suara aneh lain terdengar samar-samar dari arah ruang tamu. Suara itu seperti bisikan yang tak jelas, mengambang di udara, hampir tenggelam dalam suara hujan di luar.
Dengan hati-hati, Mira bangkit dari tempat tidur dan meraih jubahnya. Tubuhnya gemetar ketika kakinya menapaki lantai kayu yang dingin. Dia berjalan pelan ke arah ruang tamu, menahan napas agar langkahnya tidak terdengar. Suara bisikan itu semakin jelas, membuat bulu kuduknya merinding.
Dia berhenti di ambang pintu ruang tamu, dan di sanalah ia melihat sosok Bimo, berdiri membelakanginya. Punggungnya kaku, namun bahunya sedikit menunduk. Dia seolah sedang berbicara, tetapi tidak dengan Mira.
“…kau pikir dia setia? Kau pikir dia tak pernah ingkar? Bodoh…” gumam Bimo dengan suara pelan namun jelas, seakan berbicara pada seseorang yang tak terlihat.
Mira menelan ludah, menahan diri agar tidak beranjak terlalu dekat. Hatinya diliputi rasa takut yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dia menyaksikan Bimo berdiri kaku di sana, berbicara sendiri dengan nada yang penuh kebencian.
“Dia pikir aku tidak tahu… Aku selalu tahu… Aku tahu semuanya…” suara Bimo terdengar serak dan mendendam, suaranya begitu rendah, namun menusuk hingga membuat Mira gemetar.
Tanpa sadar, Mira memundurkan langkah, membuat lantai kayu di belakangnya berderit pelan. Bimo menoleh seketika, dan mata mereka bertemu dalam sekejap. Mata Bimo menyala dengan tatapan yang tak biasa—tajam, dingin, penuh kecurigaan.
“Kenapa kamu di sini, Mira?” tanya Bimo datar, suaranya begitu tenang namun penuh ancaman yang tersembunyi.
Mira terbata-bata, tidak tahu apa yang harus dijawab. “Aku… aku cuma haus. Aku mau ambil air.” Dia menghindari tatapannya, mencoba terlihat santai meski ketakutan begitu jelas tergambar di wajahnya.
Bimo mengangguk pelan, masih memandangi Mira dengan ekspresi datar. “Ambil saja airnya, lalu kembali tidur,” katanya singkat, namun ada sesuatu dalam nadanya yang membuat Mira tahu bahwa ia tak boleh lagi mengawasinya.
Dengan tangan gemetar, Mira bergerak ke dapur untuk mengambil segelas air, berharap ini semua hanyalah mimpi buruk yang segera berlalu. Namun bisikan Bimo tadi, suara penuh kebencian itu, terus terngiang-ngiang di kepalanya, menyiratkan bahwa ada sesuatu yang lebih mengerikan dari yang selama ini ia sadari.
Setelah kembali ke kamar, Mira berbaring di tempat tidur, mencoba memejamkan mata, tetapi hatinya tak kunjung tenang. Bayangan Bimo berdiri di ruang tamu, berbicara sendiri dengan suara penuh amarah, terus menghantui pikirannya. Rasa dingin merayap dalam dadanya, seperti ada sesuatu yang besar dan gelap membayangi setiap sudut rumahnya.
Dia membalikkan tubuh, mencoba mengatur napas untuk menenangkan dirinya. Namun, perasaan bahwa dia sedang diawasi masih begitu kuat. Mata Mira terpejam, tetapi pikirannya tak bisa berhenti membayangkan sosok Bimo yang sedang mengawasi dari balik kegelapan.
Seketika, Mira membuka matanya dan memandang ke arah pintu kamar yang sedikit terbuka. Di sana, pada celah pintu itu, seolah ada bayangan yang berdiri diam, memperhatikannya dari balik kegelapan lorong. Mata Mira membelalak, berusaha memastikan apa yang dilihatnya—namun bayangan itu menghilang begitu saja saat dia fokus.
Mira menahan napas, tak berani bangkit. “Aku hanya sedang berkhayal…,” gumamnya pelan, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Namun firasatnya berkata lain. Rasa takut yang semakin besar kini menyelimuti pikirannya, mengingatkan bahwa Bimo bukan lagi sosok yang dia kenal. Tatapan dingin, suara penuh kebencian, dan bisikan gelapnya mulai terkuak di dalam dirinya, seperti sisi lain yang selama ini tersembunyi.
Dalam keheningan kamar yang mencekam, Mira merasa benar-benar terperangkap. Ia tahu bahwa bayangan gelap ini tidak akan pergi begitu saja; ia semakin yakin bahwa Bimo menyimpan dendam—dendam yang semakin besar, dan siap melampiaskannya kapan saja.