Bimo Bukan Orang yang Jahat
Keesokan harinya, Ani kembali berkunjung ke rumah Mira, merasa perlu memastikan bahwa temannya baik-baik saja setelah kejadian tadi malam. Dia datang membawa beberapa buah tangan sebagai alasan sederhana, namun sebenarnya cemas melihat perubahan sikap Bimo yang begitu menyeramkan.
Di dalam rumah, Mira sedang menyapu ruang tamu ketika Ani tiba. Wajahnya tampak pucat, dan ada lingkaran gelap di bawah matanya, seolah malam yang berlalu tidak membiarkannya tidur dengan tenang. Ani memandang Mira, tak bisa mengusir kekhawatiran yang menggelayut sejak tadi malam.
“Eh, kamu baik-baik saja, Mira?” Ani bertanya pelan sambil meletakkan tasnya di sofa. “Maaf, aku langsung datang tanpa kabar dulu. Aku… cuma mau lihat kabarmu.”
Mira tersenyum kecil, mencoba terlihat biasa. “Aku baik-baik saja, kok,” katanya, meskipun senyumnya tak sampai ke matanya. “Cuma semalam sedikit… ya, nggak tahu juga. Mungkin Bimo lagi stres.” Mira berkata dengan nada rendah, seolah sedang berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Ani duduk di sampingnya, menarik napas panjang sebelum mulai berbicara. “Mira, aku nggak mau ikut campur. Tapi, tadi malam… aku nggak bisa mengabaikan cara Bimo memperlakukanmu. Dia… terlihat sangat berbeda.” Suara Ani terdengar serius, dan Mira menunduk, menyadari kejujuran kekhawatiran temannya.
Mira menghela napas, mencoba menenangkan diri. “Bimo orangnya cuma… mudah cemburu. Sejak awal kami menikah, dia selalu bilang kalau dia nggak mau aku bergaul sembarangan. Katanya dia cuma ingin melindungiku.” Mira mengatakannya pelan, seolah berusaha untuk membenarkan sikap suaminya yang posesif.
Namun, Ani memandangnya, tidak yakin. “Tapi, Mira, itu sudah keterlaluan. Kamu bahkan nggak bisa bersenang-senang di rumahmu sendiri tanpa dia marah-marah… menurutku, itu lebih dari sekadar protektif. Ini tentang kontrol.”
Mata Mira berkedip, ada keraguan yang mencuat di balik tatapan kosongnya. Dia ingin menyangkal, namun Ani bisa melihat ada ketakutan dalam tatapan Mira yang tak bisa ia sembunyikan sepenuhnya.
Mira terdiam sejenak, memperhatikan tangan-tangannya yang kini terlipat di pangkuan. Ani duduk diam, memberikan temannya waktu untuk menenangkan diri, tetapi diam-diam berharap Mira akan jujur padanya.
Setelah beberapa saat, Mira menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan suara rendah, hampir berbisik, “Bimo bukan orang yang jahat, Ani… tapi… kadang, dia bisa berubah jadi orang yang sangat berbeda.”
“Berubah seperti apa, Mir?” tanya Ani lembut, mencoba membuat Mira lebih nyaman untuk berbicara.
Mira menelan ludah, ragu-ragu. “Dia… sering melarangku bertemu beberapa teman lamaku. Katanya, aku nggak pantas terlalu bebas… seolah semua yang kulakukan salah di matanya.” Matanya menerawang ke arah jendela, seakan melihat ke suatu tempat yang jauh, mengingat kejadian-kejadian yang sudah lama dia pendam. “Awalnya, aku pikir itu cuma kecemburuan biasa… tapi lama-lama dia mulai mengatur semuanya. Apa yang boleh kukenakan, ke mana aku boleh pergi…”
Ani mengerutkan dahi. “Mira… itu bukan cemburu. Itu… sudah nggak sehat.”
“Aku tahu,” Mira mengakui, suaranya terdengar berat. “Tapi aku takut untuk melawan, Ani. Bimo bisa berubah… sangat menakutkan.”
Ani menatap Mira prihatin, merasa ada sesuatu yang jauh lebih kelam di balik pengakuan Mira. “Kalau dia sudah sejauh itu, kamu harusnya bicara pada seseorang, Mir. Mungkin keluargamu, atau aku… kita bisa bantu cari jalan keluar.”
Mira menggeleng perlahan. “Aku takut, Ani. Bahkan tadi malam saja, kamu lihat sendiri… dia nggak segan-segan menunjukkan kemarahannya, bahkan di depan orang lain.”
Ani menggenggam tangan Mira, mencoba menyalurkan kekuatan. “Kamu nggak sendirian, Mira. Aku ada di sini. Kalau dia benar-benar berbahaya, kamu harus keluar dari situasi ini. Kita bisa pikirkan bersama.”
Mata Mira berkaca-kaca, tetapi dia tetap tak bisa memberikan jawaban pasti. Dia tahu ada kebenaran dalam ucapan Ani, tapi rasa takut pada Bimo terlalu dalam, terlalu mencekam. Ani tahu, percakapan ini baru membuka sedikit dari rahasia gelap di balik kehidupan rumah tangga Mira.
Di tengah percakapan mereka, pintu depan tiba-tiba terbuka dengan suara keras. Ani dan Mira seketika menoleh, terkejut melihat Bimo muncul di ambang pintu. Tanpa sepatah kata, dia masuk dan menutup pintu dengan kasar, seolah ingin menunjukkan kehadirannya dengan cara yang mengintimidasi.
Mira tampak kaku, menundukkan kepala untuk menghindari tatapan suaminya. Ani hanya bisa memandang, berusaha menjaga sikap tenang meski jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Bimo berjalan ke arah meja, pandangannya tak lepas dari Mira. Setelah beberapa detik yang terasa panjang, dia mengalihkan tatapannya ke Ani. “Masih di sini, Ani?” tanyanya datar, suaranya terdengar dingin.
Ani tersenyum tipis, meski ketegangan di udara begitu terasa. “Iya, Bimo… tadi cuma ngobrol sama Mira sebentar,” jawabnya, berusaha menjaga nada suaranya tetap sopan.
Bimo hanya mengangguk kecil, tapi ekspresinya tetap tajam. Dia duduk di sofa dengan gerakan lambat, tatapannya tetap fokus pada Mira, yang duduk kaku di sebelahnya. Atmosfer ruang tamu itu terasa berat, hampir mencekik.
“Aku perhatikan, akhir-akhir ini kamu sering main ke sini, Ani,” kata Bimo tiba-tiba, masih dengan nada dingin. Tatapannya tidak sepenuhnya ramah, seolah ada sesuatu yang dia curigai.
Ani mencoba tersenyum lagi, meskipun mulai merasa tak nyaman dengan sikap Bimo. “Iya, Mira kan temanku dari dulu. Kita cuma ngobrol biasa, Bim.”
Bimo menatap Ani tajam, lalu beralih ke Mira. “Kamu suka sekali ngobrol, ya, Mir? Apalagi kalau aku lagi nggak ada.” Ada nada sindiran dalam ucapannya yang langsung membuat Mira tampak semakin terpojok.
Mira hanya bisa diam, tidak tahu harus berkata apa. Tangannya tampak bergetar halus, namun dia berusaha menutupi ketakutannya. Ani, yang menyadari hal itu, mulai merasa bahwa kehadirannya hanya memperkeruh suasana. Ia mulai bangkit, bersiap pamit.
“Kayaknya aku memang harus pulang dulu, ya, Mir,” ujarnya sambil tersenyum canggung. Ani menatap Mira sekilas, berharap temannya itu memahami bahwa dia tidak tega meninggalkannya dalam situasi ini, namun juga sadar bahwa ketegangan ini mungkin hanya akan semakin buruk jika ia bertahan.
Namun, Bimo tidak menjawab atau mencegah kepergian Ani. Dia hanya menatap Ani sampai wanita itu menghilang di ambang pintu, lalu menutup pintu di belakangnya dengan satu gerakan pelan yang mengerikan. Saat Ani pergi, Mira menyadari bahwa malam itu masih panjang—dan dia harus menghadapinya seorang diri.
Setelah Ani pergi, keheningan yang mencekam melingkupi ruang tamu. Bimo duduk diam di sofa, tak jauh dari Mira. Dia menatapnya dengan pandangan yang sulit ditebak, mata gelapnya seakan menyiratkan sesuatu yang tidak bisa dikatakan dengan kata-kata. Mira duduk mematung, jantungnya berdegup keras, dan seluruh tubuhnya terasa tegang.
“Apa saja yang kalian bicarakan tadi?” tanya Bimo tiba-tiba. Nada suaranya terdengar datar, namun ada nada curiga yang begitu jelas.
Mira menunduk, mencoba mengendalikan suaranya agar tidak terdengar gugup. “Hanya cerita-cerita biasa, Bim… soal pekerjaan dan… ya, hal-hal kecil.”
Bimo menatapnya lama, seolah mencoba membaca pikiran Mira. Dia menggeser tubuhnya mendekat, membuat Mira merasa terpojok di ujung sofa. “Hal-hal kecil,” gumamnya, seakan mengulang kata-kata Mira dengan penuh ejekan. “Sepertinya akhir-akhir ini kamu sering cerita pada orang lain, ya?”
Mira menggigit bibirnya, berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menenangkan suaminya. “Aku cuma… senang bisa punya teman untuk ngobrol, Bim. Kamu tahu, Ani sudah seperti saudara sendiri.”
Namun, Bimo hanya menyeringai, ekspresinya berubah menjadi sesuatu yang tak menyenangkan. “Kalau kamu butuh teman ngobrol, cukup aku. Tidak perlu orang lain,” katanya, suara rendahnya menekan, penuh penekanan. Tangannya bergerak, meraih tangan Mira dengan cengkeraman yang begitu erat, hampir menyakitkan. Mira meringis, tapi tak berani melawan.
“Mulai sekarang, kamu tidak usah sering-sering menemui Ani. Jangan pernah pikir aku tidak tahu apa yang terjadi,” katanya pelan, matanya tajam menembus ke dalam pandangan Mira.
Mira mengangguk kecil, takut membantah. Dadanya sesak, seakan-akan semua harapan kebebasan terlepas dari genggamannya. Di dalam hati, ia merasakan ketakutan yang semakin besar, bahwa hubungan ini bukan hanya soal kecemburuan, tapi sesuatu yang lebih dalam—dan lebih gelap.
Keesokan harinya, Ani kembali datang ke rumah Mira, kali ini di waktu siang. Rasanya tidak nyaman meninggalkan Mira dalam situasi tadi malam tanpa memastikan bahwa ia baik-baik saja. Begitu tiba, Ani mengetuk pintu pelan, berharap Mira ada di rumah dan bisa berbicara bebas.
Mira membuka pintu dengan cepat, seolah sudah menunggu kedatangannya. Wajahnya terlihat sedikit pucat dan tampak lebih lelah dari biasanya. Tanpa banyak bicara, Mira mengisyaratkan Ani untuk masuk. Mereka duduk di ruang tamu, dan Mira segera menutup jendela, seakan khawatir percakapan mereka terdengar.
“Ani, aku… aku nggak bisa lama-lama,” bisik Mira setelah mereka duduk. “Bimo bisa pulang sewaktu-waktu.”
Ani mengangguk mengerti, meskipun khawatir melihat kondisi Mira. “Aku cuma mau pastikan kamu baik-baik saja, Mira. Semalam… aku benar-benar nggak tenang ninggalin kamu.”
Mira tersenyum kecil, namun senyum itu tidak mampu menyembunyikan ketakutan di matanya. “Bimo makin sulit ditebak. Dia jadi lebih… posesif,” katanya, nadanya penuh keraguan dan kecemasan. “Dia bahkan bilang… aku nggak boleh sering-sering bertemu kamu.”
Ani terdiam, terkejut sekaligus marah mendengar itu. “Mir, ini sudah keterlaluan. Kamu nggak bisa biarkan dia mengontrolmu terus-menerus seperti ini.”
Mira tampak ragu, namun akhirnya dia mengangguk pelan, menyetujui kata-kata Ani. “Aku tahu, Ani… aku tahu. Tapi… aku takut. Bimo bisa… bisa melakukan apa saja kalau aku melawan.” Suaranya mengecil, hampir seperti bisikan, penuh kekhawatiran yang dalam.
Ani menggenggam tangan Mira, mencoba memberikan kekuatan dan rasa aman. “Dengar, Mira. Kalau keadaan makin memburuk, kamu bisa hubungi aku kapan saja. Jangan biarkan dirimu terjebak lebih lama dalam situasi ini.”
Mira mengangguk, walaupun matanya menunjukkan keraguan. Dalam hatinya, ia tahu ada kebenaran dalam ucapan Ani, tapi rasa takutnya pada Bimo menahan langkahnya untuk keluar dari jerat itu.
Saat Ani berpamitan dan melangkah keluar, dia menatap Mira dengan ekspresi serius. “Hati-hati, Mira. Jaga dirimu baik-baik. Kalau kamu butuh bantuan, aku akan selalu ada untukmu.”
Mira mengangguk lagi, menahan emosinya. Begitu pintu tertutup dan Ani menghilang dari pandangan, Mira kembali ke dalam rumah, merasa kosong dan rapuh. Dia tahu peringatan Ani adalah sesuatu yang sangat perlu ia ingat. Namun, dalam hatinya, dia merasa ketakutan bahwa malam-malam yang menakutkan ini hanyalah awal dari kengerian yang lebih besar.