Ketika ia berbisik padaku, anehnya sekilas aku merasa ngeri. Tapi perasaan itu dalam sekejap menghilang juga, seiring menjauhnya ia dari ruanganku.
Tiga bulan berlalu, seperti prediksinya, pembangunan hotel sudah bisa dimulai. Dia memang profesional. Hanya saja, aku tetap merasa was-was dengan ‘peringatan’ yang ia sampaikan.
Mengapa aku harus menurutinya, sementara aku sendiri masih yakin dengan imanku.
“Bukan untuk itu.” Ujarnya tiba-tiba, sementara aku mengawasi para pekerja yang sedang membangun hotelku.
“Maksud Anda?” tanyaku keheranan. Tak ada angin, tak ada hujan. Tiba-tiba saja ia berucap demikian.
“Saya tahu apa yang sedang anda pikirkan. Tapi saran saya bukanlah untuk ‘itu’.” Ucapnya menegaskan sambil tersenyum.
“Yang jelas. Kamar di lantai 3 nomor 9 semestinya segera anda siapkan.” Jawabnya sambil berlalu, setelah menyelipkan beberapa map hasil evaluasi perizinan ke dalam lenganku.
Walau tidak ingin, tetap saja sarannya terus-menerus terpikirkan. Apa sebenarnya yang akan dan tak akan terjadi kalau seandainya aku menyediakan ataupun tidak kamar di lantai 3 nomor 9 itu? Tragedi kah? Hantu kah? Atau? Aku selalu memikirkan itu sebagai tempat ‘transit’ penunggu asli tanah yang aku beli. Lalu aku harus menguncinya rapat-rapat, dan setiap hari harus memberikan sesaji di kamar tersebut. Tapi jika yang ia katakan ‘bukanlah untuk itu’, lantas untuk apa? Mengapa ia tak terus terang saja padaku? Atau.. ia sengaja bungkam sampai aku membayarnya lebih?
“Saya harus membayar anda berapa lagi?” tanyaku di hadapannya. Aku berdiri tepat di depan meja kerjanya.
Ia tertawa kecil, “Mengapa anda tidak duduk terlebih dahulu?” ujarnya dengan tangan yang menunjuk kursi di depan mejanya.