Hari itu penuh dengan gerimis di Bandung, udara dingin menyeruak melalui setiap celah pintu dan jendela. Setelah hujan mereda, embun mengisi dedaunan, dan taman kecil di halaman rumah tampak begitu hijau dan segar.
Bima, seorang anak berusia 13 tahun, terbangun dari tidurnya dan pergi ke dapur untuk membuat sarapan. Ia, bersama ayah dan ibunya, tinggal di sebuah rumah kecil di sebuah kompleks perumahan di Bandung Utara. Ayah Bima bekerja sebagai kurir di perusahaan logistik, sementara ibunya bekerja di warung makan di dekat rumah.
Saat itu Bima telah memasuki masa puber dan mulai memperhatikan hal-hal seperti gaya berpakaian. Setiap hari sekolah, dia menggunakan sepatu putih yang telah usang. Ketika dia bertanya mengapa orang tuanya tidak membeli sepatu baru untuknya, mereka selalu menjawab bahwa ada kebutuhan lain yang lebih penting.
Setelah tiba di sekolah, Bima melihat seorang teman sekelas memakai sepatu bola merek terkenal yang baru. Dia sangat ingin membeli sepatu tersebut tetapi tak tahu berapa harganya. Akhirnya, setelah pulang sekolah, dia meminjam komputer di perpustakaan untuk memeriksa harga sepatu tersebut. Dia terkejut melihat harganya mencapai Rp 1.000.000,-.
Pulang sekolah, Bima bercerita kepada ibunya tentang sepatu baru temannya dan meminta agar dibelikan. Ibu Bima terkejut mendengar harganya dan berkata bahwa mereka tidak mampu membeli sepatu seharga itu. Bima merasa kecewa dan marah, dia merasa tidak seperti teman-temannya yang mampu membeli barang-barang mewah. Dia mulai merasa malas beribadah dan sering kali meminta sesuatu yang tidak mampu dipenuhi oleh orang tuanya.
Suatu hari, ibu Bima memintanya untuk menemaninya ke pusat distribusi makanan untuk orang miskin yang berada di luar kota. Di sana, Bima melihat banyak orang yang hidup dalam kemiskinan, mereka tampak beruntung bisa mendapatkan makanan dan pakaian yang layak.
Ibunya berkata, “Nak, melihat ini semua, apa kamu merasa masih ingin mengeluh? Mereka punya sedikit, tapi mereka bersyukur. Kamu harus belajar untuk menghargai apa yang kamu miliki dan jangan selalu menginginkan lebih.”
Bima terdiam, dia merasa malu dengan perilakunya selama ini. Dia meminta maaf kepada ibunya dan berjanji akan lebih menghargai apa yang dia miliki. Sejak hari itu, Bima menjadi lebih bersyukur dan tidak lagi sering meminta barang mewah yang tidak mampu dipenuhi orang tuanya. Dia juga mulai lebih rajin beribadah dan lebih peka terhadap kondisi orang tuanya. Dia belajar bahwa kebahagiaan bukan hanya tentang memiliki barang mewah, tetapi tentang bersyukur dan menghargai apa yang kita miliki.