Akhirnya mau tak mau aku pulang ke rumah orangtuaku. Orangtuaku begitu terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Mereka tak pernah menyangka bahwa aku akan pulang dalam keadaan seperti ini. Ayahku yang sedang duduk di teras rumah langsung berlari dan memelukku. Girang karena anaknya yang hilang telah kembali. Sepertinya aku tak asing dengan cerita ini.
Baca juga:
Di rumah, ibuku sudah memasakkan rendang terenak yang belum pernah kurasakan selama ini. Minuman telah tersedia, makanan berkelimpahan. Kurang apa kedua orangtuaku. Setelah aku selesai makan dan minum, kedua orangtuaku menatapku dengan khawatir.
“Ada apa nak?” tanya kedua orangtuaku kompak.
Aku diam sesaat. Menghela napas panjang.
“Tiga bulan lalu aku bermimpi ruang kerjaku disapu oleh seorang nenek.” ceritaku. Aku belum melanjutkan, namun kedua orangtuaku sudah bereaksi dengan mata melotot.
“Rambutnya digulung ke atas?” tanya ibuku.
“Iya.” jawabku lemas.
“Pakai daster kecoklatan dengan batik daun-daun berguguran.” susul bapakku.
“Iya.” jawabku masih lemas.
“Dia bilang supaya kamu eling nak?” tanya kedua orangtuaku kompak.
“IYA! Kenapa semua orang di sini serba tahu tentang itu?! Jangan-jangan kalian tahu kalau itu Dewa Kemiskinan?” tanyaku kesal.
Kedua orangtuaku terkejut dengan reaksiku. “Kami kira itu nenek moyangmu.” jawab bapak.
“Benarkah?” tanyaku terkejut.
“Nggak. Kami bercanda.” jawab ibuku. “Iya. Sudah jelas itu Dewa Kemiskinan. Zaman sekarang siapa yang nggak tahu tentang Dewa Kemiskinan, ya kan bu? Hahahahaha..” jawab ayah dengan nada yang amat sangat menjengkelkan disusul tawa keras ibuku.
“ARRGGGGGGHHHHHH!!!!” aku berteriak kencang karena jengkel.
“Pak! Bu! Tiga bulan sudah aku nggak dapat penghasilan karena Dewa Kemiskinan itu! Kenapa bapak-ibu malah ketawa?!” protesku.
Bapak dan Ibu terdiam sejenak. Lalu, “Bwahahahahahahahaahaaak!” Iya. Mereka tertawa terbahak-bahak.
“Nak.” Ibuku kini melangkah mendekatiku dan merangkulku. “Dewa Kemiskinan itu nggak jahat!”
“Benar sekali! Ia diciptakan dengan tujuan mulia: membuatmu selalu ingat akan Tuhan dan keluargamu!” jawab ayahku.
“Sekeras apapun kamu bekerja, jika Tuhan masih mengutus Dewa Kemiskinan padamu, kamu nggak akan dapat penghasilan.” lanjut ibuku lalu kini membelai kepalaku lembut.
“Tapi apa salahku?” tanyaku bingung.