Malam itu aku tidak bisa tidur sama sekali mengingat cerita tadi sore. Aku berusaha melupakannya tapi tetap saja terngiang dan aku jadi terbayang-bayang kejadian demi kejadian seolah-olah aku menyaksikannya sendiri. Udara malam itu dingin sekali, kukenakan selimut tebal dan kaos kakiku. Tapi aku heran melihat teman-temanku malah tidur bertelanjang dada.
Hingga akhirnya waktu menunjukkan pukul 05.00 pagi. Aku melihat temanku bangun dan keluar. Kebetulan aku kebelet pipis dan langsung buru-buru ke kamar mandi dan tanpa menunggu temanku, langsung kembali ke kamar. Rupanya temanku sudah di dalam kamar dan sedang mematikan alarm hp nya.
Baca juga:
“ Lhoh, cepet banget kamu Ko? Tadi ke mana?”
“ Apaan?” sahut Eko sambil menguap.
“ Kamu bukannya barusan keluar?”
“ Mana adaaa.. Ini aja kebangun gara- gara kamu lari injak kakiku.”
Bulu kudukku langsung berdiri dan aku terdiam sesaat sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali meringkuk di bawah selimutku hingga matahari menyembul dari peraduannya. Kami pun melakukan aktivitas seperti biasanya.
Namun hari itu terasa sangat berat bagiku karena semalaman tidak bisa tidur dan pikiran melayang entah ke mana. Dan lagi- lagi aku menunggu temanku untuk pulang. Begitu terus hingga seminggu lamanya. Kantukku makin tak tertahankan. Pusing, mual, badan rasanya remuk semua. Tapi aku tetap tidak bisa tidur.
Entah aku berhalusinasi karena tidak bisa tidur atau memang terjadi, tapi setiap hari aku melihat bayangan hitam di rumah itu, dimana- mana. Seolah mengikutiku terus. Aku ketakutan, tapi aku tak berani menyampaikan kepada dua temanku. Bapak tetangga sebelah juga tidak pernah nampak lagi. Rumahnya selalu kosong. Aku berharap KKN ini segera berakhir. Tapi masih 1 bulan lagi.
Mungkin saking lelahnya aku pingsan saat KKN. Aku terbangun di sebuah ruangan putih dan banyak orang di sekitarku. Kakek, nenek, bapak, ibu, 4 orang anak kecil di samping kananku, di samping kiriku ada banyak wanita cantik dan lelaki beringas. Mereka menatapku tajam sambil menyeringai. Dan salah seorang di antara mereka membawa sebilah pisau daging. Dia ke arahku sambil menjilati pisaunya. Aku pun berteriak ketakutan dan meronta- ronta.
“Dit! Ditto! Kamu kenapa?”kata Galih panik sambil berusaha menenangkanku.
“Argghh… aku di mana?”
“Di rumah sakit Dit. Kamu tadi pingsan pas liputan.” Sahut Eko.
“Kamu itu kenapa? Kok akhir- akhir ini pucat? Banyak diamnya. Ada masalah?” tanya Galih
“Aku mau pulang.” Sahutku lemas.
“Baru boleh pulang kalau sudah pulih.” Kata Eko.
“Bukan. Aku mau pulang ke rumah. Rumahku.”
“Owalah..kamu homesick to?” tanya Galih.
“Nggak, bukan itu…”aku bingung mau menceritakannya atau tetap diam.
“Kalau ada masalah, bilang aja. Kita mau dengerin kok. Dan berusaha bantu.”bujuk Eko.
Setelah terdiam agak lama dan berpikir panjang, akhirnya aku pun menceritakan semua kepada Galih dan Eko. Toh selama ini aku diam saja malah sama saja.
Mungkin dengan bercerita aku bisa lebih tenang dan aku pun mengacuhkan mitos itu. Reaksi Eko dan Galih rupanya sama denganku. Mereka terdiam cukup lama dan pucat. Tapi kali ini mereka tidak mules sepertiku.
Baca juga:
“Kamu terlalu stress. Pasti kamu hanya berhalusinasi selama ini akibat kurang tidur. Buktinya tadi kamu mimpi kan?” Kata Galih memecah keheningan berusaha menenangkanku dan aku yakin dia juga berusaha menenangkan dirinya sendiri.
“Benar kata Galih. Pasti kamu cuma dikerjain Bapak itu. Lagian sebelah rumah kan memang kosong.” Eko menimpali, sepertinya dia juga berusaha menenangkan diri sendiri. Dasar kalian munafik semua.
Aku tertegun. Terus yang ngomong sama aku siapa? Dengan jelas aku melihat Bapak itu masuk ke rumah sebelah. Apa benar aku hanya berhalusinasi? Tapi semua itu terasa nyata.
Kalau memang aku hanya berhalusinasi, berarti dari awal Bapak sebelah rumah itu tidak ada. Ini semua membingungkanku. Eko dan Galih terus membujukku dan menenangkanku.
Selama 2 hari dirawat, mereka terus menemaniku. Kami pun pulang bersama. Sesampainya di kos, aku langsung berbaring di kasur tipisku.
Sementara Eko ke dapur dan Galih ke kamar mandi. Aku terlelap sebentar dan terbangun ketika ada suara berisik di pintu depan. Aku pun beranjak dari tempat tidurku. Tak kulihat Galih maupun Eko. Aku pun bergegas ke depan.
Kudengar suara orang menyeret sesuatu dari belakang. Aku mengintip dengan perlahan dari balik dinding kos. Kulihat dua pasang kaki dengan sandal yang tak asing.
Itu sandal Galih dan Eko! Kuberanikan diri lagi untuk melihat lebih banyak. Tetapi, ternyata itu hanya dua pasang kaki. Baru saja aku mau beranjak. Seseorang menepuk bahuku dan membalikkan badanku dengan paksa.
Kurasakan sesuatu yang tajam menghujam jantungku. Sebuah pisau yang dengan mudahnya menembus dadaku. Aku tak berdaya. Hal terakhir yang kulihat adalah seorang pria. Pria itu bapak yang bercerita kepadaku semua kisah misteri itu.
Ah.. aku baru ingat sekarang, bapak itu tidak pernah bercerita tentang akhir kisah pemutilasi.
Rupanya…
. . .
Yaaa… akhirnya kami bertiga mati. Sekarang kami bertiga jadi hantu magang di kos ini. Kami sekarang bergantian menghantui penghuni kos baru tiap malam dengan hantu-hantu senior di sini. Ada hantu mafia, hantu polisi, hantu penculik, hantu orang yang diculik, dan hantu sekeluarga. Semua senang.
Tamat.
Baca juga: