Menunggu
“Jadi.. berapa lama lagi aku harus menunggu?” tanyaku di bawah temaramnya lampu kota.
Seketika semuanya menjadi hening. Bahkan kendaraan yang tadinya lalu-lalang pun seolah lenyap hingga menyisakan keheningan di antara kami.
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang basah hinggap di hidungku. Apalagi kalau bukan gerimis? Butiran-butiran halus air yang membawa setiap kenangannya entah dalam duka maupun suka.
Baca juga:
Tapi bahkan dalam situasi yang seromantis ini pun, dia tampak tak ingin menjawabku.
“Tidak dapatkah kau mengatakan apapun yang dapat menenangkan hatiku?” tanyaku dengan memaksa.
Kini ia hanya menoleh, menatapku dengan dingin. Mungkin sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa ia sedih, namun tak dapat lagi.
“Pras..” akhirnya ia mengucapkan sesuatu. Kurindukan suaranya. Kurindukan segala sesuatu yang ada padanya.
“Pras.. kamu tahu bahwa semua ini tak mungkin lagi kau kejar. Kalaupun kau menyusulku, kau tak akan bersamaku sampai kapanpun.” jelasnya dengan wajah dinginnya. Aku sungguh-sungguh merindukan senyum hangatnya.
“Aku harap.. kamu mau menerima semuanya. Segalanya telah terjadi. Kita tak mungkin bersama lagi. Aku harap.. kamu bisa segera memaafkan kepergianku. Memaafkan dirimu sendiri.” lalu ia menatap mataku dan kemudian tersenyum. “Ini semua bukan salahmu.”
“Aku pergi ya Pras?” ucapnya. Kemudian perlahan seiring dengan menghilangnya dia, turunlah hujan deras. Alam mewakilinya menangis. Bahkan menangis sekencang-kencangnya.
Dulu aku tidak masalah dengan kemampuanku melihat sisi lain dari dunia ini. Tapi sekarang, aku berharap aku tak pernah memiliki kemampuan ini. Bahkan aku berharap tak dilahirkan ke dunia ini.
Di tepi jalan ini, aku lalai menjaga orang yang kucintai. Di tepi jalan ini pula, aku mengantarnya untuk yang terakhir kali.
Baca juga: