Warna Keberanian
Malam di Kota Mainan terasa sunyi. Meski Jantung Kota kembali memancarkan cahaya, sebagian warna masih belum sepenuhnya pulih. Arin duduk di tangga depan sebuah rumah kecil bersama Lilo, menatap bintang-bintang yang redup di atas langit.
“Kamu sudah melakukan banyak hal untuk kami, Arin,” kata Lilo, mengibaskan ekornya pelan. “Tapi aku bisa merasakan sesuatu. Apa kamu baik-baik saja?”
Arin menunduk, meremas ujung kausnya dengan gugup. “Aku tidak tahu,” gumamnya.
Lilo menatapnya, menunggu dengan sabar.
“Aku merasa… ragu,” lanjut Arin, suaranya pelan. “Semua orang di sini mempercayai aku. Mereka pikir aku bisa menyelamatkan kota ini. Tapi aku cuma anak kecil. Bagaimana kalau aku gagal? Bagaimana kalau aku tidak cukup kuat?”
Lilo mendekat dan meletakkan cakarnya di lutut Arin. “Arin, tidak ada yang benar-benar tahu apakah mereka cukup kuat sampai mereka mencoba. Bahkan aku… sering merasa takut bahwa aku tidak bisa melindungi kota ini.”
Arin menatapnya dengan kaget. “Kamu? Tapi kamu selalu terlihat percaya diri.”
“Itu hanya karena aku berusaha,” jawab Lilo, tersenyum kecil. “Kejujuranmu ini, Arin, adalah salah satu bentuk keberanian. Mengakui ketakutanmu tidak membuatmu lemah. Itu yang membuatmu manusia, dan itulah yang kami butuhkan di sini.”
Arin menghela napas panjang, merasa sedikit lebih lega. Ia menyadari bahwa keberaniannya tidak harus berarti tidak merasa takut, tetapi terus melangkah meskipun rasa takut itu ada.
Keesokan paginya, Bumble datang dengan kabar buruk. “Hutan Mainan kehilangan warna lagi,” katanya cemas. “Jika warna di sana tidak kembali, kita tidak akan bisa menjaga keseimbangan kota.”
“Hutan Mainan adalah tempat di mana keberanian terlahir,” jelas Lilo. “Setiap daun, setiap bunga, semua warna di sana berasal dari esensi keberanian. Jika hutan kehilangan warnanya, maka semua keberanian di kota ini juga akan menghilang.”
Arin mengangguk, meskipun hatinya masih dipenuhi rasa ragu. “Apa yang harus aku lakukan?”
“Kamu harus menemukan esensi keberanian,” kata Lilo. “Tapi berhati-hatilah. Hutan itu bisa membuat siapa pun merasa takut dan ragu.”
Dengan peta kecil di tangan, Arin berangkat menuju Hutan Mainan. Lilo dan Bumble tidak bisa ikut jauh ke dalam, karena energi mereka melemah semakin mendekati pusat hutan.
“Kami percaya padamu,” kata Lilo sebelum Arin melangkah masuk.
Di dalam Hutan Mainan, semuanya terasa sepi. Pohon-pohon tinggi menjulang dengan ranting yang kaku, daun-daunnya pudar menjadi abu-abu. Suara langkah Arin bergema, membuatnya merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengawasinya.
“Siapa di sana?” suara kecil tiba-tiba terdengar.
Arin berbalik dan melihat seorang mainan kayu kecil muncul dari balik pohon. Mainan itu berukuran kecil, terbuat dari kayu yang mulai retak, tetapi matanya bersinar lembut.
“Namaku Arlo,” kata mainan kayu itu. “Apa yang kamu lakukan di sini?”
“Aku mencari esensi keberanian,” jawab Arin.
Arlo mengangguk pelan. “Esensi keberanian ada di dalam hutan ini, tetapi kamu harus membuktikan bahwa kamu layak memilikinya.”
“Bagaimana caranya?” tanya Arin.
Arlo menatapnya dengan serius. “Keberanian bukan tentang tidak merasa takut, tapi tentang menghadapi rasa takut itu. Aku akan membimbingmu, tapi sisanya tergantung padamu.”
Arlo membawa Arin ke pusat hutan, tempat sebuah pohon besar berdiri dengan akar-akar yang melilit tanah di sekitarnya. Di bawah pohon itu, ada sebuah cahaya kecil yang berpendar, seolah-olah itu adalah hati dari hutan itu sendiri.
“Itu adalah esensi keberanian,” kata Arlo. “Tapi untuk mencapainya, kamu harus melewati ujian.”
Tiba-tiba, bayangan gelap muncul di sekitar mereka, menciptakan sosok-sosok yang mengerikan. Suara-suara berbisik memenuhi udara, memanggil ketakutan terbesar Arin.
“Kamu tidak cukup baik,” kata salah satu suara.
“Kamu akan gagal,” bisik suara lain.
Arin merasa tubuhnya gemetar. Ia ingin mundur, tapi ia mengingat kata-kata Lilo—keberanian adalah melangkah meskipun merasa takut.
Ia memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, dan maju selangkah demi selangkah. “Aku mungkin takut,” katanya dengan suara bergetar, “tapi aku tidak akan berhenti. Karena aku tahu bahwa mereka membutuhkan aku.”
Bayangan itu perlahan memudar, dan cahaya di bawah pohon menjadi lebih terang. Arin mendekati esensi keberanian, lalu menyentuhnya dengan lembut. Cahaya itu menyebar ke seluruh hutan, mengembalikan warna-warna cerah pada daun, bunga, dan pohon-pohon di sekitarnya.
Arin kembali ke Lilo dan Bumble dengan senyum di wajahnya. Hutan Mainan di belakangnya kini penuh warna, dan suasananya terasa hangat.
“Kamu berhasil!” seru Bumble dengan gembira.
Lilo menatap Arin dengan penuh kebanggaan. “Aku tahu kamu bisa melakukannya.”
Arin tersenyum, tetapi matanya bersinar dengan ketenangan baru. “Aku belajar sesuatu hari ini. Keberanian bukan berarti tidak pernah takut, tapi berani melangkah meskipun rasa takut itu ada.”
Dengan keberanian yang baru ditemukan, Arin merasa lebih siap untuk melanjutkan perjalanannya. Warna di Kota Mainan perlahan kembali, dan harapan mulai tumbuh lebih kuat. Tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa masih ada banyak tantangan yang menunggu.