Pelangi yang Memudar
Arin memandangi langit di atas Kota Mainan, yang kini terlihat kelabu dan kosong. Sebelumnya, ia terpesona oleh pelangi yang melengkung indah di atas kota, memantulkan warna-warni ke seluruh sudut. Tapi kini, pelangi itu menghilang, menyisakan langit abu-abu yang berat, seolah-olah hujan akan turun kapan saja.
“Langit ini… tidak terasa hidup lagi,” gumam Arin.
Lilo yang berdiri di sampingnya mengangguk dengan muram. “Pelangi adalah salah satu elemen terpenting di Kota Mainan. Warnanya memberikan semangat dan kegembiraan bagi semua mainan. Tanpa pelangi, kota ini kehilangan salah satu sumber kehidupan terbesarnya.”
“Kenapa bisa hilang?” tanya Arin.
“Karena penenun pelangi berhenti menenun,” jawab Lilo, telinganya sedikit merunduk. “Dia merasa tidak cukup baik untuk melanjutkan tugasnya.”
Arin menatap Lilo dengan heran. “Tidak cukup baik? Tapi bukankah pelangi itu indah?”
Lilo mengangguk lagi. “Memang. Tapi setiap mainan di sini memiliki perasaan, Arin. Ketika mereka kehilangan kepercayaan pada diri sendiri, tugas mereka ikut terhenti. Dan tanpa tugas itu, dunia kami mulai memudar.”
Arin mengepalkan tangan. “Kalau begitu, aku harus membantunya. Di mana aku bisa menemukan penenun pelangi?”
“Dia tinggal di Hutan Pelangi,” kata Lilo, sambil mulai berjalan. “Aku akan membawamu ke sana.”
Hutan Pelangi tidak seperti yang dibayangkan Arin. Sebelumnya, ia mengira akan menemukan pepohonan yang berkilauan dengan warna-warni cerah. Sebaliknya, hutan itu tampak sepi dan suram, ranting-rantingnya menjuntai layu, dan bunga-bunga di tanah kehilangan sinarnya.
Di tengah hutan, Arin melihat sebuah pondok kecil yang terbuat dari kain berwarna-warni, meskipun sebagian besar kain itu kini memudar. Dari dalam pondok, terdengar suara pelan, seperti gumaman seorang yang berbicara sendiri.
Lilo melompat ke depan dan mengetuk pintu. “Hei, Rainbow, kami datang untuk membantumu.”
Pintu terbuka perlahan, dan seorang boneka kecil dengan tubuh terbuat dari tambalan kain muncul. Tubuhnya terdiri dari potongan kain berbagai warna yang dijahit bersama, dan wajahnya dihiasi senyum kecil yang tampak lemah.
“Siapa kalian?” tanyanya dengan suara lembut, matanya menatap Arin dengan rasa ingin tahu.
“Aku Arin,” jawab Arin. “Aku di sini untuk membantu mengembalikan pelangi.”
Boneka kain, yang disebut Rainbow, menggelengkan kepala sambil tersenyum pahit. “Pelangi tidak bisa kembali. Aku sudah mencoba menenun, tapi warnanya selalu pudar. Aku tidak cukup baik untuk membuat sesuatu yang indah lagi.”
Rainbow membawa mereka masuk ke pondoknya. Di dalam, ada alat tenun besar yang tampak tua, dihiasi benang-benang berwarna. Tapi sebagian besar benang itu tampak kusam, warnanya tidak lagi memancarkan kilauan seperti yang seharusnya.
“Aku sudah mencoba,” kata Rainbow, duduk di bangku kecil. Ia memegang sebuah gulungan benang merah, tapi tangannya gemetar. “Tapi tidak peduli seberapa keras aku berusaha, hasilnya tidak cukup bagus. Aku takut pelangi yang kutenun akan mengecewakan semua orang.”
Arin duduk di dekat Rainbow. “Kenapa kamu berpikir begitu? Bukankah pelangi yang kamu buat sebelumnya selalu indah?”
Rainbow menggeleng pelan. “Dulu mungkin begitu, tapi sekarang rasanya aku tidak punya cukup warna untuk menenun pelangi yang layak. Aku takut… aku takut orang-orang akan melihatnya dan merasa kecewa.”
Arin memahami perasaan Rainbow. Ia tahu bagaimana rasanya meragukan diri sendiri, takut membuat kesalahan, dan merasa tidak cukup baik. Tapi ia juga tahu bahwa tidak mencoba sama sekali adalah hal yang lebih buruk.
“Rainbow,” kata Arin dengan lembut. “Aku tahu kamu merasa ragu, tapi apakah kamu tahu apa yang membuat pelangi indah?”
Rainbow mengangkat kepalanya perlahan. “Apa?”
“Bukan karena warnanya sempurna,” kata Arin. “Tapi karena pelangi itu muncul setelah hujan. Pelangi tidak harus sempurna untuk membuat orang bahagia. Yang penting adalah kamu mencobanya, karena itu yang membuat semua orang di kota ini percaya bahwa keindahan masih ada.”
Rainbow terdiam. Lilo, yang duduk di sudut ruangan, mengangguk pelan. “Arin benar. Tidak ada pelangi yang sempurna, tapi setiap pelangi membawa harapan bagi kami semua. Kami tidak peduli seberapa sempurna hasilnya, Rainbow. Kami hanya ingin melihat cahaya itu lagi.”
Rainbow menggenggam benang merah di tangannya lebih erat. “Kalian benar,” katanya akhirnya, matanya mulai bersinar. “Aku mungkin tidak sempurna, tapi aku harus mencoba. Aku tidak bisa membiarkan kota ini kehilangan harapan.”
Dengan semangat baru, Rainbow mulai menenun. Arin dan Lilo duduk di dekatnya, menyemangati setiap langkahnya. Rainbow menggerakkan alat tenunnya dengan hati-hati, menggabungkan benang merah, kuning, hijau, biru, dan ungu.
Saat tenunan itu perlahan terbentuk, sesuatu yang ajaib terjadi. Benang-benang yang awalnya tampak kusam mulai memancarkan cahaya. Kilauan warna muncul, menyebar ke seluruh alat tenun dan mengisi ruangan dengan sinar hangat.
“Lihat!” seru Lilo, matanya membelalak.
Rainbow berhenti sejenak, menatap hasil tenunannya. Senyum kecil muncul di wajahnya. “Aku berhasil,” bisiknya, matanya penuh haru.
Arin tersenyum lebar. “Aku bilang kamu bisa melakukannya!”
Rainbow berdiri, membawa gulungan kain pelangi yang ia tenun keluar dari pondok. Ia mengangkat kain itu tinggi-tinggi, dan dalam sekejap, langit kelabu di atas hutan mulai berubah. Warna-warna cerah menyebar, menciptakan pelangi besar yang melengkung di atas Kota Mainan.
Di kejauhan, Arin mendengar suara sorakan dari para mainan yang melihat pelangi itu. Tawa dan kebahagiaan mulai kembali, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa saat, Kota Mainan terasa hidup lagi.
“Terima kasih, Arin,” kata Rainbow sambil menoleh. “Aku tidak bisa melakukannya tanpa kamu.”
Arin hanya tersenyum, merasa puas dengan apa yang telah mereka capai. Tapi ia tahu bahwa perjalanan ini belum selesai. Masih ada banyak yang harus diperbaiki di Kota Mainan, dan ia siap untuk melanjutkan.