Warna yang Hilang
Arin duduk di bangku kecil berbentuk donat di alun-alun Kota Mainan. Di sekelilingnya, suasana yang semula penuh warna dan keajaiban kini terasa ganjil. Mainan-mainan yang ia lihat sebelumnya bergerak dengan semangat kini tampak lesu. Warna-warna cerah yang menghiasi rumah-rumah mulai redup, seolah-olah ada bayangan kelabu yang merayap perlahan.
“Kenapa semua ini bisa terjadi?” tanya Arin, menatap Lilo yang duduk di sampingnya.
Lilo menghela napas panjang. “Semuanya berasal dari kebahagiaan. Setiap warna di sini terhubung dengan perasaan bahagia manusia di dunia luar. Tapi akhir-akhir ini, perasaan itu… memudar.”
“Memudar?” ulang Arin, bingung.
“Ya,” jawab Lilo sambil mengibaskan ekornya. “Kami tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu yang menghalangi kebahagiaan itu. Para mainan mulai kehilangan tugas mereka, dan tanpa tugas itu, warna mereka perlahan menghilang.”
Arin memandang para mainan yang melintas di alun-alun. Ada boneka prajurit yang berjalan pelan sambil membawa bendera lusuh, robot kecil yang membungkuk seakan kelelahan, dan mobil-mobil balap yang berwarna kusam.
“Jadi kalau kebahagiaan menghilang, kota ini juga akan hilang?” tanyanya.
Lilo mengangguk, matanya penuh kekhawatiran. “Dan bukan hanya itu. Dunia manusia juga akan merasakannya, meski tidak menyadari. Mereka akan merasa semakin sedih tanpa alasan.”
Arin merasakan dorongan untuk membantu. Ia tidak tahu bagaimana caranya, tapi ia tidak bisa membiarkan ini terus terjadi. “Kalau begitu, apa yang bisa aku lakukan?”
Lilo mengeluarkan peta kecil dari kantong di lehernya. Peta itu penuh dengan garis-garis berwarna dan gambar tempat-tempat yang tampak unik—Taman Tawa, Hutan Pelangi, dan sebuah menara tinggi yang disebut Menara Harapan.
“Tugas pertama kita ada di sini,” kata Lilo, menunjuk Taman Tawa.
Arin memiringkan kepalanya. “Taman Tawa? Itu tempat apa?”
“Itu adalah tempat di mana semua tawa berasal,” jelas Lilo. “Dulunya, taman itu penuh dengan suara tawa, tapi sekarang… tempat itu sunyi. Kalau kita tidak mengembalikan tawa di sana, warna kota ini tidak akan bertahan lama.”
Arin menggigit bibirnya, menatap peta itu dengan serius. “Bagaimana caranya aku mengembalikan tawa? Aku bahkan tidak tahu harus mulai dari mana.”
“Kita akan mencari mainan yang bertanggung jawab atas taman itu,” kata Lilo sambil melompat turun dari bangku. “Namanya Bumble. Dia boneka badut yang seharusnya menjaga Taman Tawa tetap ceria.”
Dengan sedikit ragu, Arin mengikuti Lilo menuju Taman Tawa. Di sepanjang jalan, ia memperhatikan lebih banyak mainan yang kehilangan warna, membuat tekadnya semakin kuat.