Masuk ke Kota Mainan
Langkah terakhir Arin membawanya keluar dari lorong, dan ia berdiri tertegun. Di hadapannya terbentang sebuah kota yang luar biasa indah. Rumah-rumah kecil berbentuk aneh berwarna cerah berjajar di sepanjang jalan. Ada rumah berbentuk teko, menara jam raksasa dari balok kayu, dan bahkan kincir angin yang berputar perlahan di puncak bukit.
“Ini… tempat apa?” bisiknya.
Di sekelilingnya, mainan hidup beraktivitas. Sebuah boneka kain melambai ke arah boneka prajurit kecil yang sedang menyiram bunga. Mobil-mobil mainan melaju di sepanjang jalan, sementara robot kecil membawa kotak-kotak hadiah di punggung mereka. Warna-warna kota itu begitu cerah hingga terasa seperti mimpi.
Tapi ada yang aneh. Beberapa mainan tampak bergerak lamban, dan beberapa bagian kota terlihat kusam, seperti warna-warnanya memudar.
Sebuah suara lembut menarik perhatian Arin. “Kamu manusia?”
Arin berbalik dan melihat seekor kucing kecil berdiri di depannya. Bukan kucing biasa—ini adalah boneka kucing, dengan bulu dari kain beludru dan mata besar yang bersinar seperti bintang.
“Siapa kamu?” tanya Arin, bingung namun tidak takut.
“Aku Lilo,” jawab kucing itu, membungkukkan badan seperti seorang pangeran kecil. “Selamat datang di Kota Mainan. Kami… jarang kedatangan manusia. Tapi mungkin ini adalah saat yang tepat.”
Arin mengerutkan kening. “Saat yang tepat untuk apa?”
Lilo menatapnya dengan mata sedih. “Untuk membantu kami. Kota kami hidup dari kebahagiaan. Warna-warna ini, semuanya, berasal dari kegembiraan dunia luar. Tapi… belakangan ini, semuanya mulai memudar.”
Arin memandang sekeliling lagi. Sekarang ia melihat dengan lebih jelas—beberapa rumah mulai kehilangan warna cerah mereka, dan para mainan bergerak dengan kurang semangat.
“Kami menjaga kebahagiaan dunia manusia,” jelas Lilo. “Setiap warna di kota ini terhubung dengan tawa, cinta, dan kebahagiaan kalian. Tapi sekarang, semuanya memudar. Kami tidak tahu kenapa. Kalau ini terus berlanjut, Kota Mainan akan lenyap.”
Arin merasa jantungnya berdegup lebih cepat. “Lenyap? Tapi apa yang bisa aku lakukan? Aku cuma anak kecil!”
Lilo melompat ke atas pagar kayu kecil, menatap Arin dengan serius. “Kamu mungkin anak kecil, tapi pintu itu hanya terbuka untuk mereka yang bisa membantu kami. Kalau kamu di sini, itu berarti kamu istimewa. Kamu punya sesuatu yang bisa menyelamatkan kota ini.”
Arin menelan ludah. Ia menatap kota yang mulai kehilangan warna cerahnya, dan para mainan yang kini terlihat murung. Meski merasa ragu, ada sesuatu dalam dirinya yang berkata bahwa ia tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja.
“Apa yang harus aku lakukan?” tanyanya akhirnya.
Mata Lilo bersinar. “Aku akan menjelaskan semuanya. Tapi pertama-tama, kita harus menyelamatkan taman tawa. Kalau tidak, semuanya akan menjadi lebih buruk.”
Tanpa memberi Arin kesempatan untuk bertanya lebih banyak, Lilo mulai berjalan, memimpin jalan. Arin mengikuti, rasa penasarannya bercampur dengan ketakutan kecil di hatinya. Perjalanannya di Kota Mainan baru saja dimulai.