“A-a-a-kkk-uu… h-h-h-hi-po-ter-mi-aaa..” ucap Ana kesulitan. Jelas saja. Seluruh tubuh Ana basah karena badai di atas tadi karena telat menggunakan jas hujan. Ditambah lagi perjalanan yang sulit medannya, membuat tubuh kelelahan. Plus, malam telah tiba. Suhu dingin gunung menguasai.
Vany bergegas memanggil bantuan. Beberapa teman membantu menggendongnya masuk ke dalam tenda. Setelah mereka sendirian, Vany membuka baju Ana. Membalurinya dengan minyak kayu putih dari ujung kaki sampai ke telinga. Lalu menggantinya dengan pakaian kering.
Ana masih tampak menggigil. Vany kemudian memeluk Ana supaya hangat tubuh Vany bisa membantu suhu Ana stabil lagi.
Vany merasakan betapa menggigilnya Ana. Dia berusaha menenangkan Ana yang masih tampak menggigil.
Baru saja Vany merasa kalau Ana mulai tidak menggigil, Ana kemudian mendorong Vany keras-keras.
“PERGI KAMU!” teriak Ana.
“Na? Kenapa?” Vany bingung.
“PERGI! PERGII! PERGIII!” Ana semakin menjadi-jadi.
“Oke Na! Tenang Na! Aku pergi.” ucap Vany dengan nada bersalah lalu keluar dari tenda.
“Kenapa Van?!” tanya Rimba panik ketika melihat Vany keluar dari tenda.
Mata Vany berkaca-kaca, “Aku ada salah ya sama Ana? Sampai diusir gitu.” ucap Vany dengan sedih. Rimba yang sudah lebih lama mengenal Ana mengernyitkan dahi. Dia merasa ada yang tidak beres.
“Sebentar.” ucap Rimba lalu ke tenda Ana.