Tampak di kiri kanan sawah-sawah – yang secara relatif – kami bergerak terhadapnya dan lantas seolah-olah ia berlari ke arah yang berlawanan dengan melajunya angkot yang kami tumpangi. Tampak beberapa pohon asem kecil yang ditanam di pinggir-pinggir jalan, menggantikan pohon-pohon besar yang sudah tua. Diganti karena mengancam keselamatan pengguna jalan saat hujan yang akhir-akhir ini makin sering disertai oleh angin kencang.
Kira-kira lima belas menit kemudian kami sampai di depan gang dusun tempat tinggal kedua orangtua Nana. Sebuah gang dengan gapura berwarna hijau dan busur di puncaknya, bertuliskan sambutan seperti pada umumnya: “Selamat Datang di Dusun Gamuruh”, lalu ada logo Keluarga Berencana di setiap ujungnya. Jarak dari mulut gang ke rumah Nana tidaklah terlalu jauh. Tapi kehadiran kami yang merupakan calon pasangan suami-istri baru ini tentu menarik perhatian beberapa ibu-ibu yang biasa ‘mangkal’ di tukang sayur persis di sebelah gang ini.
“Eeeehh.. Teh Nana udah pulang? Waduuh.. udah sama Kang suami nih yaa? Kok nggak undang-undang sih?!” tanya seorang ibu-ibu (rempong) otomatis begitu saja. Seolah kami baru saja tak sengaja menyalakan alarm keamanan sebuah bank, sehingga ‘alarm’ yang lain ikut-ikutan berbunyi. Ibu-ibu yang lain maksudnya.
“Aduuh.. Bu.. kami belum menikah ini. Masih mau siap-siap.” jawab Nana tersipu malu.
“Moga dilancarkan ya, Teh? Ngomong-ngomong, suaminya cakep banget! Mirip lagi sama Teh Nana! Emang jodoh deh kayaknya!” ucap ibu lain yang lebih tua sambil menggosok-gosok bahuku. Ibu ini sepertinya mengabaikan penjelasan Nana. Statusku masih ‘calon suami’.
“Ya sudah, kami langsungan ya, Bu? Mangga’!” ucap Nana, lalu aku kemudian menyusul sambil tersenyum dan menunduk kepada ibu-ibu tersebut. Belum jauh kami melangkah, suara ibu-ibu itu sudah semakin ramai, membicarakan macam-macam mengenai kami, seperti dari mana asalku dan pekerjaanku apa (setidak-tidaknya itulah yang kudengar sampai suara mereka menjadi semakin samar).
Aku tidak tahu mengapa ibu-ibu selalu suka mengurusi hal yang bukan urusannya. Kalau mereka belum tahu pasti kebenarannya, seseorang pasti sudah akan melemparkan ‘jawaban sementara’ – yang kemudian dikenal sebagai gosip – baru kemudian berusaha mengklarifikasinya. Itupun kalau ada yang berinisiatif. Kalau tidak, ya mereka akan menganggap itu sebagai sebuah kebenaran. Yang penting, batin mereka sudah puas dulu dengan informasi karangan yang sudah mereka buat sendiri.
Dua-tiga langkah sebelum sampai rumah, sudah tampak Ayah Nana tengah menyiangi kebunnya. Ayah Nana memanglah seorang yang lembut dan begitu mencintai tanaman-tanaman hias. Tangannya begitu dingin membuat taman di pekarangan rumahnya tampak begitu hidup. Kalau saja ada lomba rumah terindah, maka rumah orangtua Nana adalah yang nomor satu di desa ini.
“Ayaaah!” teriak Nana lalu berlari menuju ayahnya yang kini terkejut akan kehadiran Nana.
Bersambung ke Semua Bermula dari Sebuah Sambaran
Baca juga: