Oh my heart won’t believe that you have left me
I keep telling my self that it’s true
…
Sinar matahari menyiram wajahku. Membangunkanku dari tidur-yang menurutku-cukup lelap sekalipun dalam sebuah perjalanan panjang. Menembus kaca bus yang sedang kutumpangi bersama kekasihku, Nana. Sudah semalam kami lalui. Ratusan kilometer sudah ditempuh untuk menuju kampung halaman Nana.
Siapa yang menyangka perjalanan hari ini akhirnya terwujud juga. Sebuah perjalanan yang akan menentukan masa depan kami.
Bukan. Aku tidak sedang akan melamar Nana.
Aku sudah melakukannya. Personal, juga sudah memohon restu kedua orangtuanya. Kali ini kami hendak mempersiapkan banyak hal di tempat Nana. Kami memutuskan untuk menikah di sana.
Tak ada prosesi lamaran secara adat saat itu. Aku bukanlah tipe orang yang mementingkan persoalan seperti itu, sekalipun ayahku terus-menerus memaksaku untuk melamar secara adat. Aku menolaknya. Itu adalah hak prerogratifku sebagai seorang pria yang akan menikah.
Aku yang akan menikah, tentu aku juga tak perlu membuat berbagai kerepotan lain dengan orang lain maupun diriku sendiri. Bapakku, atau mungkin orang-orang pada umumnya boleh merasa tidak mengerti, tapi yang akan menikah adalah diriku. Aku yang berhak atas siapa yang akan kulibatkan dan tidak.
Baca juga:
Di sisi lain, aku bukanlah pria yang mementingkan gengsi. Kata Bapak, prosesi lamaran dengan adat menandakan gengsimu sebagai pria dalam hal kesiapan menghidupi anak orang. “Apa kata orang nanti kalau kamu melamar dengan cara terlalu personal seperti itu? Kamu akan disangka tidak mampu!” begitulah kira-kira yang bapak katakan kepadaku.
Nyatanya? Aku adalah seorang pria yang memiliki berbagai jenis bisnis. Aku hidup secara mandiri sejak aku memutuskan berpisah dari keluargaku. Terseok-seok sendiri, hingga akhirnya aku meraih kesuksesanku sebagai seorang pria. Bisnisku lancar, rumah sudah tersedia, dan hidupku nyaman-nyaman saja tanpa perlu hal-hal tidak penting yang merepotkan.
Maka aku memutuskan untuk tidak mendengarkan pesan kosongnya. Bahkan dulu, ia selalu tak setuju dengan Nana. Aku masih merasa bahwa ia tetap tak setuju jika aku dengan Nana. “Kamu terlalu sempurna untuk Nana. Nana adalah perempuan yang biasa. Dan.. Bapak selalu merasa ada yang aneh dengan Nana.” begitu ungkapnya.
Aku tak pernah mengerti, mengapa Bapakku selalu sentimen terhadap Nana. Padahal, memberi makan Nana dan aku saja tidak. Seolah-olah aku harus selalu mendengarkan perkataannya. Padahal tak jarang prasangkanya selalu salah.
Beruntung aku memiliki ibu yang begitu pengertian. Pernah suatu ketika, bapak dengan keterlaluan berusaha membuat Nana menjauh dariku. Ia mengungkapkan ketidak senangannya terhadap Nana secara blak-blakan. Jelas Nana kecewa, marah, dan menangis. Ia pulang langsung dengan menangis tersedu-sedu. Saat itu aku berusaha mencegahnya, namun bapak malah mencaciku karena aku masih bersama Nana. Aku hanya terdiam.
Lantas aku mengadu kepada ibuku. Tentu perasaanku amatlah sedih, jelas aku tak akan pernah bisa menahan air mataku melihat Nana yang pergi dengan begitu kecewa. Aku pun yakin hatinya sama hancurnya dengan hatiku. Ibu yang memahami isi hatiku hanya berkata, “Lakukanlah apa yang benar menurutmu. Turutilah kata hatimu. Ibu akan setia mendampingimu.” Jelas sekali bahwa kalimat itu begitu menenteramkan hatiku, sekaligus meneguhkan keputusanku pada malam itu. Aku akan keluar dari rumah malam itu.
Aku tak pernah tahu apa yang membuat bapak begitu membenci Nana. Salah apa yang Nana lakukan sehingga seperti itu kebencian bapak padanya. Tanpa alasan. Tanpa sebuah kejelasan.
Baca juga:
Nana adalah perempuan terbaik yang pernah kutemui. Ia berusia lima tahun lebih muda dariku. Sebuah jarak usia yang begitu wajar dalam hubungan sepasang kekasih. Nana adalah gadis yang cerdas. Prestasinya begitu gemilang. Otaknya begitu brilian dan kreatif. Belum lagi diiringi kesantunan ketika bertutur, selera humor yang tinggi, dan kemampuan berpidato yang amat mencengangkan.
Seandainya ada pemilihan presiden baru saat ini, aku merasa Nana juga memiliki karisma pemimpin yang hebat. Itu yang membuatku begitu jatuh cinta dan bangga padanya. Seolah-olah aku melihat diriku sendiri di balik kegemilangan Nana.