“Monggo diunjuk! (Take the red or blue pill!)” ujar Mbah kung mempersilahkan.
“Wah maaf Mbah malah merepotkan begini.” ucapku sungkan tapi sambil tetap menyeruput air teh dari gelas tersebut. Entah mengapa sedari tadi aku membayangkan terjemahan ucapan bahasa Jawa Mbah kung dalam bahasa Inggris yang tidak pada tempatnya.
Tapi yang lebih aneh lagi adalah, aku tetap merasa haus sekali pun aku sudah meminum teh dari Mbah kung. Tidak terasa panas juga meskipun aku yakin betul bahwa teh ini tadi mengeluarkan asap.
“Asli mana mas?” tanya Mbah kung memotong keasyikanku memandang pacarku yang tengah menyuapi Si Mbok.
“Ah.. saya asli Jogja, Mbah.” jawabku sambil mengangguk-angguk khas orang Jogja.
“Jogja mana, Mas?” tanya Mbah kung lagi.
“Saya di Godean, Mbah.” jawabku lagi.
“Ohh.. sekarang panen apa di sana?” tanya Mbah Kung membuatku mati kutu. Aku tidak pernah mengamati panen apa di Godean. Sempat rasanya ingin mengalihkan pembicaraan, tiba-tiba Mila datang.
“Mas, kita nginep aja ya! Nekat namanya kalau kita langsung pulang malam ini juga.” jelas Mila.
“Oke.” jawabku merasa terselamatkan.
“Nanti aku tidur sama si Mbok. Kamu tidur di kamar kosong yang di situ ya?” jelas Mila sambil menunjuk kamar yang hanya tertutupi oleh kain batik di belakangku. Aku mengangguk mengiyakan saja.
“Sekarang mas tidur saja. Besok kita bangun pagi soalnya Mas masih mauk kerja kan?” Mila masih melanjutkan instruksinya lagi.
“Baik komandan!” jawabku mengiyakan dan langsung bergegas masuk ke kamar. Mbah kung tertawa melihat tingkahku.
Malam itu cuaca cukup cerah, sehingga di desa terasa begitu dingin. Aku kesulitan tidur karena kasur yang kugunakan ini sepertinya sudah lama tak terpakai. Jadi debu menumpuk begitu tebalnya. Sesekali aku menggaruk-garuk tangan dan leherku karena gatal.