“Coba dilihat baik-baik. Kita sudah sampai apa malah kelewatan rumah Mbah?” saranku agak menenangkan.
“Mmm.. mmm.. coba ya.. itu pohon jati.. itu pohon rambutan.. Mmm.. itu putih-putih apa ya mas?” ucapnya sambil menunjuk-nunjuk.
“Fokus! Fokus! Aku malas berurusan dengan hal-hal aneh di sini!” bantahku. Rasa kesalku mengalahkan rasa takutku. Sepertinya juga pacarku jadi bodoh karena terlalu shock.
“Ahhhh…! Itu mas! Pohon cengkeh yang di sana!” teriak pacarku girang.
“Kok kamu bisa lihat gelap-gelap gini?” tanyaku heran.
“Ati-ati mas! Agak nikung lagi kalau masuk rumah Mbah.” ucap pacarku memperingatkan.
Rumah Mbah pacarku ada di sisi kanan jalan. Sudah jauh ke bawah, sehingga kami tidak seperti ketika di atas, mengangkasa di atas atap-atap rumah. Posisi tanahnya sudah lebih sejajar dengan jalan turun. Tapi tetap saja, kalau jalan ke bawah lagi yang akan ditemukan juga hutan-hutan yang jauh lebih gelap.
Rumah Mbah memiliki halaman yang luas dan berundak-undak. Setiap undakannya ditanami pohon cengkeh. Ada juga pohon rambutan dan pohon jati. Seekor anjing peliharaan Mbah menggonggongi kami ketika kami masuk ke pekarangan tanpa pagar ini. Ayam-ayam beberapa terbangun karena suara berisik dan sorot cahaya lampu motor. Sekilas telrihat kandang kambing di ujung pekarangan ketika lampu motor kami menyorot ke arah sana.
Aku memarkirkan motor tepat di muka pintu rumah Mbah. Rumahnya sudah gelap gulita. Sementara aku mematikan motor, pacarku turun dan langsung melangkah ke depan pintu.
Tok! Tok! Tok!
“Mbahkung?” pacarku berteriak lirih agar tidak terlalu keras, namun cukup terdengar hingga ke dalam rumah.
Aku turun dari motor. Kulihat tumpukan kayu tertata di depan rumah. Ada juga beberapa kelapa tua ditumpuk di sebelahnya.