“Mas! Mas! Itu liat tanjakan di atas. Nah itu naik, terus turun.” ujarnya sambil menunjuk sebuah turunan yang tepat berada di sebuah tanjakan yang menikung. Sebuah tantangan tersendiri jika membawa mobil ke sini. Jalannya tidak terlalu luas, penerangan minim, dan lika-liku yang menyeramkan.
“Bisa kan mas?” tanya pacarku sedikit gemetar karena merinding melihat jalan terjal ke bawah ketika motor kami sampai di atasnya. Aku sedikit menghentikan motorku untuk memastikan jalan yang akan kami tempuh aman.
“B-b-bisa.” jawabku ragu tapi mau tak mau harus menjawab juga.
“Pelan-pelan mas!” ucap pacarku mengingatkan.
“Iya. Turunan terjal kayak gini mau ngebut dari mana? Udah gitu jalannya banyak lumut lagi.” protesku. Aku penasaran kenapa dia cerewet sekali malam ini. Aku sedari tadi memainkan rem belakang. Menghindari terjadinya selip kalau memanfaatkan rem depan. Jelas jalanan berbahaya sekali.
Sisi kiri dari turunan ini dipenuhi oleh batu kapur dan bebatuan yang besarnya tak tanggung-tanggung. Kira-kira tingginya seperti rumah satu lantai. Besarnya seperti muka truk. Kalau saja itu longsor dan menimpa kami jelas sudah tamat lah kami. Sesekali bebatuan itu diselingi oleh pohon-pohon bambu yang tampak menyeramkan. Untung saja gelap. Jadi kami tidak akan melihat mahluk-mahluk aneh yang ‘iseng’ menampakkan dirinya.
Sementara itu, di sisi kanan, kita akan dengan mudah melihat atap-atap rumah warga (yang sama gelapnya). Kira-kira jarak jalan dengan atap-atap tersebut satu hingga dua meter. Jelas kalau kami tergelincir dan terperosok ke arah kanan, maka kami akan melubangi atap rumah warga tersebut. Tidak hanya cedera yang akan kami dapat, tapi kami akan dengan segera bertemu Tuhan dan tertawa bersama di surga karena kekonyolan ini.