“Oke..” jawabku lalu berjalan menuruni perkemahan duluan disusul Mas Doni. Suara jangkrik sangat keras terdengar di sini. Entah ada berapa jangkrik malam ini yang bersuara, tetapi tanpa suara jangkrik jelas suasana dataran tinggi kurang terasa. Sekalipun bagian atas perkemahan tertata rapi, jalan setapak menuju tanah lapang tidak begitu bagus. Kiri-kanannya masih berupa perkebunan yang tidak dirapikan. Entah kebun apa yang terletak di sisi kiri-kanan jalan ini. Sesekali kulihat pohon pinus tinggi dengan beberapa pohon kecil di belakangnya. Selain itu, masih banyak semak-semak pula di sini. Orang pasti enggan melangkah ke kebun itu walaupun terang sekalipun.
Tibalah kami berdua di tanah lapang itu. Kayu kayu sudah ditumpuk. Kami tinggal menata tumpukan kayu itu menjadi gunungan yang siap dibakar nantinya. Satu per satu kami tata rapi. Hingga akhirnya, kayu-kayu itu menggunung dan siap dibakar. Sekarang pukul 21.00. Semestinya sejam lagi mereka turun. Lucu, padahal kami berdua menyusun kayu ini, tapi rasanya melelahkan sekali. Seolah-olah menata kayu-kayu itu seorang diri.
Sambil menunggu, aku memain-mainkan korek api untuk sekedar menghangatkan diri. Tiba-tiba seperti ada angin yang berhembus dari belakang tengkukku. Kulihat ke belakang. Aku terkejut. Ternyata ada seorang kakek. Perawakannya kecil. Kira-kira usianya 80 tahun. Ia menatap kami yang sedang berisitirahat. Aku diam. Kupikir dia ingin melintasi jalan yang kami halangi. Lantas aku berkata kepada mas Doni untuk bergeser sedikit karena aku malas berdiri, “Mas.. ada mbah-mbah mau lewat.”
Mas Doni sepertinya tidak mendengarku. Dia asyik memainkan rumput yang diinjaknya. Lantas aku berdiri dan berbalik, hendak mempersilahkan kakek itu, “Monggo mbah”
Kakek itu sudah tidak ada.
Mas Doni seolah sadar dari lamunannya, dengan terkejut dia bertanya, “Kamu ngapain Bon??”
“Weh mas! Tadi di belakang kita ada mbah-mbah lho.. mau lewat..” setahuku kalaupun dia pergi tidak mungkin secepat itu. Lagipula, jalan ke atas cukup jauh. Kiri-kanan semak belukar tinggi.
“Lhoh iya po? Yawes ini bensinnya dipinggirkan dulu. Terus kita cepet-cepet naik ke atas! Kita nunggu di atas saja.” aku menyingkirkan bensin setelah itu naik ke atas lagi. Kami berjalan berdua. Rasanya cepat sekali sampai ke atas. aku tidak begitu takut, tapi kepanikan mas Doni tadinya sedikit membuatku panik juga. Aku mendahului dia beberapa langkah.
Sampailah aku di atas.. dan aku terkejutnya bukan main.
“Lho Bon! Sudah selesai? Aku daritadi nyariin kamu lho? Nggak berani aku ke bawah sendirian.” kata Mas Doni dengan ketua panitia di sebelahnya.
Aku menoleh ke belakang. Tidak ada seorang pun di belakangku.