“Iya Mas, Kok enam belas?” tanya Vany bingung. Ia kemudian berusaha menatap Ana. Tapi Ana hanya berdiri diam. Tatapannya begitu kosong.
Semua orang kemudian menoleh ke belakang. Dua orang yang berada di barisan paling belakang tidak terlihat begitu jelas wajahnya. Keduanya menggunakan masker, dengan ponco di kepala mereka. Badai dan juga redupnya cahaya saat matahari terbenam tidak membantu mereka untuk mengenali siapa kedua orang ini.
Entah kapan mereka berada di belakang rombongan. Entah sudah berapa lama mereka ada di sana. Semua terdiam untuk beberapa saat. Memandangi kedua orang ini.
“Kalian ngapain? Kenapa nggak jalan?” tanya salah satu dari kedua orang tersebut. Suaranya surau dan tampak marah. Rombongan hanya terdiam.
“Kami mau pulang! Kalian harus cepat! Kami mau pulang! Mau pulang!” begitu ujarnya berulang-ulang. Akhirnya rombongan tersadar. “Ayo cepat! Cepat!” kata mereka sambil membereskan kekacauan sehabis membongkar carrier.
“Mereka di belakang sejak kapan?” tanya Rimba memastikan kepada Shandy.
“Nggak tahu. Mungkin regu lain yang memang mau turun. Kita barengin saja.” jawab Shandy berusaha tenang. Rimba mengangguk, kemudian kembali ke barisan depan.
Vany sendiri memastikan bahwa kedua orang tersebut ikut turun bersama mereka dari titik itu. Sampai tiba-tiba…
“Kenapa Mas?” tanya Delta kepada Rimba.
“Kok?” Rimba kebingungan. “Jalannya bercabang?” Ini pertama kalinya Rimba merasa bingung. Iya yakin sekali kalau jalur turun yang mereka lewati harusnya tidak bercabang.
“AYO CEPET!” teriak kedua orang tadi yang berada di barisan paling belakang dengan nada sangat marah.