Yayasan ini berfokus di karawitan gaya Jogja. Peminatnya memang semakin sedikit, tapi semangat pengelola tak bisa diragukan. Anjloknya wisatawan asing ke Jogja turut memengaruhi kelangsungan hidupnya.
Yayasan Gambir Sawit berdiri 1 Januari sepuluh tahun lalu. Pendirinya adalah pemerhati karawitan yang kepeduliannya termasuk luar biasa. Mereka adalah Kanjeng Wasitodiningrat, Ki Naryono, Ki Wiryah Sastro Wiyono, R Suprapto Atmosutedjo, dan Suwariyun. Kecuali Kanjeng Wasitodiningrat, yang usianya sudah 104 tahun, keempat pendirinya rang lain sudah almarhum. Jabatan ketua kini diisi oleh E Suharjendro, setelah ketua sebelumnya, Suwariyun, meninggal dunia.
Awalnya,Yayasan Gambir Sawit didirikan dengan maksud mengembangkan tarian klasik gaya Jogja. Hingga kemudian, perhatian terhadap seni karawitan lebih diutamakan. Hal ini tidak terlepas dari semakin berkurangnya pemahaman masyarakat terhadap karawitan gaya Jogja. Kalau gaya Yogyakarta yang bisa membedakan hanya yang tahu mengenai alat musik itu. Orang-orang tidak tahu tidak bisa membedakan. Ketukannya juga sangat berbeda, dan yang tidak tahu karwitan ya nggak tahu bedanya” ujar Suharjendro.
Jumlah peminatnya juga sangat sedikit. Dalam catatan, untuk pendaftaran bulan Januari ampai April, masih 15 orang. Namun di tingkat lanjut kadang hanya ada 5 orang yang neneruskan. Alasannya macam-macam, dari mulai sibuk hingga harus menjalankan Kuliah Kerja Jyata (KKN) bagi yang kebetulan masih mahasiswa.
Secara resmi, yang belajar karawitan saat ini masih 13 orang. Namun tidak semua bisa masuk pada pertemuan-pertemuan yang dijadwalkan. Sebagai pengurus yang peduli, Suharjendro tidak mau menyerah saja pada keadaan.Tidakjarang, dia menelepon satu persatu anak didiknya. Banyak yang mengaku sibuk sehingga tidak bisa melanjutkan belajar karawitan. Padahal jika sering tidak berangkat dan pelajaran terputus, sulit sekali untuk mengeja.
Menurut Suharjendro, kelompok belajar seni karawitan ini masih bertahan hanya dengat modal semangat. Para pengrawit (pemain gamelan-red) juga memiliki kepedulian besar terhadap kesenian tradisonal. Sebelum tahun 1996, kehidupannya juga disokong oleh seringnya mereka pentas mini di hadapan turis. Di sebuah toko gamelan dan perlengkapan wayang, mereka bermain jika ada rombongan turut datang. Meski hanya 5 sampai 10 menit, tetapi bisa jadi pendorong semangat.”Teman-teman mengiringi dan saya yang mendalang. Yang membuat turun adalah krisis moneter dan bom Bali:papar Suharjendro.
Persoalan mendasar yang ada adalah karena mereka yang datang tidak memiliki dasar apa pun soal alat musik tradisional. Mereka hanya datang dan kemudian memilih alat musik yang ingin dikuasai. Padahal untuk belajar alat musik tradisional, lebih sulit dari alat musik modern. Rebab misalnya, tidak memiliki tangga nada, beda dengan gitar yang jelas panduannya.
Namun, siapapun tetap diundang untuk datang dan belajar karawitan di Yayasan Gambir Sawit. Seperti kata Suharjendro, gamelan adalah pelengkap hidup. Tidak mungkin manusia hanya cukup untuk selalu bekerja, belanja, makan dan lainnya. Musik selalu dibutuhkan untuk mengisi ruang kosong dalam hidup setiap orang.”Ini sebagai hiburan dan panggilan jiwa,” tandasnya