Mengapa kamu menangis?
Kulontarkan pertanyaan itu sambil membagi ruangan teduh di bawah payung kecilku kepada seorang pria yang tubuhnya sudah basah kuyup oleh hujan. Walaupun begitu, aku tahu ia sedang menangis.
Tubuhnya cukup tinggi, dengan berjinjit pun wajahku hanya dapat menatap dadanya. Hujan yang deras menyerang bahuku yang terpaksa tidak mendapat keteduhan. Dan.. dalam sekejap kurasakan dingin dari air bercampur dengan angin kencang menyerang bahuku.
Pria ini tampak lesu. Wajahnya begitu pucat. Tampak kekecewaan yang begitu dalam rerpancar dari matanya. Aku sudah tak yakin lagi, di wajahnya itu, apakah air mata atau air hujan yang lebih banyak.
Baca juga:
“Jadi.. kenapa kamu menangis? Tak seharusnya pria menampakkan kelemahannya di depan umum.” Tanyaku sekali lagi.
Pria itu kini menatapku. Bukannya menjawab, ia justru berbalik, lalu berlari kencang.
Aku tidak biasa melewati jalan ini. Musim hujan telah tiba, dan rasanya melewati jalan yang sepi ini lebih aman dari gelombang cipratan mobil-mobil tak bertanggungjawab di jalanan.
Pengalaman barusan adalah pengalaman aneh di hari pertamaku melalui jalan ini.
Tiga hari kemudian, di saat hujan deras lagi, kulihat seorang gadis menangis. Di tempat yang sama dengan pria yang kutemui dulu.
“Kenapa kamu menangis?” Tanyaku kepada gadis itu. Lalu, sama seperti tiga hari lalu, kubagikan ruang teduh di bawah payungku. Bedanya, kali ini jauh lebih mudah bagiku karena ia sedang berjongkok di depan sebingkai foto dan bunga yang disandarkannya pada tiang di situ.
“Hari ini empat puluh harinya kekasihku. Aku mencampakkannya. Dan yang terakhir kudengar ia tewas di sekitar sini.” ucapnya sambil terisak.
Kulihat foto di dalam bingkai itu. Pria yang kutemui tiga hari lalu.
Kini aku tahu apa arti keputus asaan yang kulihat di wajahnya. Yang menjadi penyesalan di wajah kekasihnya.
Baca juga: