“Memangnya praktek sihir masih ada ya zaman sekarang?” tanya Doko pada ayahnya.
“Jelas masih! Bapak tahu..” belum selesai ayah berbicara, Doko menyambung, “Jadi.. ibu itu merapal mantra?!”
“Tentu saja! Karena bapak tahu, makanya bapak nggak terpengaruh sama sekali dan cepat-cepat mengusirnya.” Jelas ayah.
“Tapi kok bapak kayak kaget dari tadi?” tanya Doko heran.
“Ya bapak hanya pingin kamu nggak panik saja. Tapi kayaknya ya kamu sudah tahu jadi biarkan saja.” Jelas ayah.
“Tapi apa yang ibu itu cari ya?” Doko terheran-heran.
“Mana bapak tahu? Semoga bukan tumbal.” Ucap ayah sambil berlalu.
Esoknya, hujan turun dengan derasnya. Saat itu masih pukul 5 sore. Tapi belum ada yang pulang. Doko hanya sendirian di rumah. Ia sedang memotongi karton untuk membuat studio mini.
Petir sambar-menyambar. Kilat tampak menyilaukan mata meskipun hanya sedikit jendela kaca di rumah Doko. Tapi Doko tiba-tiba yakin, bahwa ada orang lain yang berdiri di depan pintu rumahnya. Seseorang yang sudah tak asing lagi bagi Doko. Seorang wanita tua gila yang sudah membuatnya kesal berulang kali.
“Ja.. jajannya.. nak? Kikikikikiiikk!!!” ucap wanita tua itu dengan tawa mengerikan disusul suara petir yang menggelegar.
“BANGSAAAAAATTTT!!!!!” Doko balik badan hendak menghujani wanita tua itu dengan sumpah serapah. Tapi yang ia lihat hanyalah pintu yang terbuka lebar yang menunjukkan teras rumah dan dedaunan yang beterbangan dengan kacau karena kencangnya angin badai.
Doko yakin sekali bahwa pendengarannya tidak menipunya. Ia sadar betul bahwa suara wanita tua itu masuk ke telinganya.
Doko melengok ke halaman rumah. Tak ada siapa pun. Hanya ada derasnya air hujan turun. Tak terdengar suara apapun, sekalipun berulang kali motor dan mobil melintas di depan rumahnya, karena derasnya air hujan.
“Jajannya nak?” JDARRR!!!
Sekali lagi Doko dikejutkan oleh suara wanita tua itu. Bukan dari arah halaman. Rupanya wanita tua itu sedang berdiri di sudut teras yang tak sempat terlihat oleh Doko.
“Aku ngiup sik yo, le! KIKIKIKIKKKKK!” begitulah wanita tua itu memohon-yang tampak-tak seperti permohonan, melainkan ancaman mengerikan bagi Doko.
“Ngapain kamu di sini?!” teriak Doko marah.
Dengan nada tinggi pula, wanita tua itu menjawab, “Saya mau berteduh dulu nak!”“
“Dari sekian banyak teras rumah, kenapa hanya teras rumah saya?!” protes Doko.
“Karena.. insung walklsao.. rumah ini.. hartunkaksjak.. dan kamu.. ilahtuha tarunai.. akan jadi.. “ belum selesai wanita tua itu berucap dan bermantra, Doko yang sedari tadi menggenggam gunting langsung menerjang wanita tua itu.
“DIAM KAMU PENYIHIR TUA! AKU TAHU! AKU TAHU NIAT BUSUKMU! DIAM KAMU!” begitulah Doko berteriak sambil menghujamkan gunting ke dalam mulut wanita tua itu. Wanita tua itu memberontak, tapi tetap kalah tenaga dengan Doko. Darahnya mulai menyemprot ke luar.
“KALAU GINI KAMU NGGAK BISA KAN KOMAT-KAMIT?! MAMPUS KAMU! MAMPUSS!!” Doko masih terus menghujamnya bertubi-tubi. Wanita tua itu makin tak berdaya. Wajah Doko kini telah bertopengkan darah.
“INI PASTI ILUSIMU KAN?! AKU TAHU KAMU AKAN HILANG KALAU LANGSUNG KUBUNUH!” teriak Doko lagi sekalipun wajah wanita tua itu kini sudah semakin menyemburkan banyak darah dan tubuhnya tak bergerak lagi.
“HAHAHAHA! HAHAHAHAHAHAHA!” tawa Doko menggelegar. Disambut oleh tiupan angin kencang dan petir yang sambar-menyambar. Seolah badai sore ini jadi panggung besar bagi Doko.