Wajah yang Sama

“You and I are the same. We are born to be loved.” Dendang suara Weni terdengar. Lucu. Tapi kini memuakkan. Entah sejak kapan aku merasa membencinya. Seolah-olah mau-tak mau aku perlahan mengakuinya. Mungkin mitos itu benar. Jika seorang anak terlahir dengan wajah persis seperti ibunya, ibunya pasti tak akan hidup lama.

Mungkinkah?

Hanya boleh ada satu wajah yang bertahan hidup di dunia ini? Apakah Tuhan salah dalam mencipta sehingga Ia harus merivisi kehidupan lain? Kehidupan usang yang dipersalahkan? Apakah sekejam itu kenyataan hidup?

Jika diingat-ingat, sosok tanpa wajah itu walau mengerikan ia tak tampak seperti hantu. Apakah ia hakim kehidupan? Pembawa wabah? Atau dewa kematian? Adakah harga yang bisa ditawarkan agar kehidupan bisa diraih kembali?

Seolah aku sudah dirasuki kegelapan. Keputus-asaan menguasaiku. Aku mengumpulkan semua kekuatan yang tersisa padaku.

“Wen, mau antar mama jalan-jalan? Pakai kursi roda aja.” Weni menghentikan nyanyian karangannya sendiri itu dan mengangguk senang.

“Weni kuat mbopong Mama ke kursi roda?” tanyaku lagi.

“Kuat kok Ma! Tenang ajaa!” balasnya dengan semangat.

“Papa pergi ke mana?” tanyaku memastikan kehadiran suamiku.

“Tadi katanya mau cari makanan kesukaan mama sebentar.” Jawab Weni.

Memang aku beruntung telah menikahinya. Aku tak sanggup melihatnya hidup sendiri.

“Kita nggak usah turun ya. Antar Mama jalan-jalan di koridor saja.” Pintaku pada Weni.

“Oke Ma! Pelan-pelan aja ya?” ucapnya sambil meraih rangkulan dan kemudian mendudukkanku ke kursi roda.

Di tengah perjalanan Weni hanya terus berdendang. Ia tak berceloteh banyak seperti biasanya. Mungkin ia takut celotehannya hanya menambah sakit kepalaku. Kemudian kulihat sebuah koridor dengan jendela di ujungnya. Koridor itu begitu sepi. Aku benar-benar merasa ini adalah kesempatanku.

“Wen, Mama penasaran sama pemandangan di luar sana. Di sana sepi. Kayaknya enak ya kalau Mama bisa lihat ke luar jendela. Nggak berisik. Tenang gitu.” Rayuku.

“Oke Ma, kita ke sana ya?” ucap Weni lalu mendorongku ke arah koridor tersebut hingga ujung jalan.

“Coba bukakan jendelanya, Wen. Biar udara masuk.” Pintaku lagi.

“Tunggu ya Ma.” Ucap Weni sambil mengunci roda-roda, kemudian melangkah ke depan dan membuka jendela.

Aku menanti saat yang tepat. Saat di mana aku bisa mendorong Weni ke luar jendela. Harus kulakukan dengan tepat agar semuanya tampak alami. Dan aku bisa hidup dengan tenang bersama suamiku lagi.

Tepat saat Weni membuka jendela dengan lebar, kudorong tubuhnya ke luar dengan segenap tenaga yang tersisa padaku. Aku tak dapat melihat wajahnya. Tak kutengok pula ke mana tubuhnya terjatuh saat itu. Saat kubalikkan badanku, kulihat sesosok tanpa wajah itu berdiri dekat denganku. Ia terus diam di hadapanku. Kemudian perlahan wajah yang rata perlahan beralih ke wajahku sendiri. Ia menampilkan wajahku sendiri. Dan perlahan menghilang.

via GIPHY

Aku merasa kekuatanku kembali. Bergegaslah aku kembali ke kamar dengan kursi rodaku. Kembali beristirahat, sembari menanti kembalinya suamiku yang tercinta.

Nara Pandhu
Nara Pandhu
Suka dengan hal-hal berbau misteri. Sudah menulis cerita misteri sejak tahun 2012.

Latest articles

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër

Related articles

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!