Mira memutar musik karaoke di ruang tamunya, mengatur volume cukup keras untuk memenuhi ruangan namun tak terlalu bising agar tak mengganggu tetangga. Di sampingnya, Ani tertawa sambil memegang mikrofon yang disiapkan Mira sore itu. Mereka baru saja selesai menyanyikan sebuah lagu pop lawas, dan tawa mereka memenuhi ruangan, mengimbangi keheningan malam di luar.
Malam itu, hanya mereka berdua di rumah. Suami Ani berhalangan datang karena harus lembur di pabrik, dan Bimo, suami Mira, sejak sore pergi entah ke mana. Mira tahu Bimo sering kali tidak pulang hingga larut malam. Dia sudah terbiasa dengan kepergian suaminya itu, meskipun Ani sering kali mempertanyakan ke mana saja Bimo pergi hampir setiap hari.
“Ayo, nyanyi lagi, Mira! Masih ingat lagu favorit kita waktu sekolah dulu?” tanya Ani sambil memandang Mira dengan mata berbinar.
Mira tersenyum dan mengangguk. “Tentu saja ingat!” Dengan cepat dia memilih lagu itu di layar. Musiknya mengalun pelan, nada-nada awal membawa mereka kembali pada kenangan lama.
Ani memegang mikrofon, lalu mulai menyanyi dengan suara yang sedikit sumbang namun penuh semangat. Mira menimpalinya dengan harmonisasi yang lebih halus, membuat suara mereka berpadu dengan cara yang menyenangkan. Wajah Mira tampak berseri-seri, sorot matanya menandakan kebahagiaan sederhana dari nyanyian malam itu.
“Aku yakin, followers-mu pasti senang lihat kita karaoke-an kayak gini,” Ani berkomentar sambil tertawa kecil, menunjuk ke arah kamera ponsel yang mereka pasang di atas meja. Mira menyiarkan acara karaoke itu secara langsung di media sosial, hanya untuk bersenang-senang.
“Lumayan, siapa tahu jadi hiburan buat yang lagi bosan di rumah,” jawab Mira ringan. Kamera itu menjadi saksi keceriaan mereka, menangkap setiap momen tawa dan gurauan yang mengalir dengan lancar.
Selagi mereka bernyanyi, ruangan terasa nyaman dan akrab. Ani menari kecil, membuat Mira tertawa sambil menggelengkan kepala. “Kamu tuh, masih saja joget nggak jelas kayak waktu dulu,” Mira bercanda.
Mereka terus bernyanyi, tak menyadari bahwa suasana malam yang damai itu perlahan berubah. Bayangan gelap dari luar perlahan mendekat, tapi bagi mereka, hanya ada musik, tawa, dan nostalgia yang mengalun.
Di luar, angin malam berembus pelan, menggerakkan dedaunan yang kering dan menciptakan suara gemerisik di sekitar halaman rumah Mira. Lampu-lampu jalan yang remang-remang membuat bayangan panjang di sepanjang pagar, namun tidak cukup terang untuk menembus sepenuhnya ke sudut-sudut gelap di sekitar rumah.
Tanpa mereka sadari, sepasang mata menatap dari luar jendela ruang tamu, memperhatikan setiap gerak dan tawa Mira dan Ani dengan pandangan tajam dan tak berkedip. Bayangan itu berdiri diam, hampir menyatu dengan gelapnya malam, menyembunyikan dirinya dengan lihai, seperti sosok yang terlatih dalam mengamati tanpa terlihat.
Di dalam, Mira dan Ani masih asyik bernyanyi, suara mereka naik turun mengikuti irama lagu. Kamera di atas meja terus merekam, tapi tidak ada yang menyadari kehadiran mata dingin di balik kaca jendela. Tatapan itu beralih dari Mira, yang sedang bernyanyi penuh semangat, kepada Ani, yang tertawa lepas sambil sesekali menepuk bahu temannya.
Sesaat, Ani berhenti tertawa. Perasaan aneh menjalari punggungnya, membuat bulu kuduknya berdiri tanpa alasan yang jelas. Dia melirik ke arah jendela yang sedikit terbuka, hanya diselimuti tirai tipis yang bergerak pelan diterpa angin. Sepintas, Ani seperti melihat ada sesuatu—bayangan yang samar.
“Ada apa, Ani?” tanya Mira tanpa menghentikan nyanyiannya.
Ani menggeleng, tersenyum kecil, mencoba mengabaikan rasa janggal itu. “Nggak, cuma… kayak ada yang aneh saja. Mungkin cuma perasaanku,” katanya, berusaha terdengar santai.
Mira tertawa kecil. “Ah, itu pasti gara-gara lagu mellow yang bikin kamu jadi paranoid,” katanya sambil terus menyanyi, mencoba menghidupkan suasana.
Namun, tatapan dingin dari balik jendela itu tak berpaling. Dia berdiri di sana, memperhatikan, menanti dengan sabar di bawah bayang-bayang, seolah menunggu saat yang tepat untuk melangkah masuk ke dalam kehidupan mereka, merusak suasana ceria yang mengalun di dalam rumah.
Pintu ruang tamu tiba-tiba terbuka, menimbulkan suara derit pelan yang membuat Mira dan Ani menoleh seketika. Di ambang pintu berdiri Bimo, tanpa mengucapkan salam atau memberi tanda sebelum masuk. Wajahnya gelap, garis-garis keras di wajahnya tampak lebih dalam di bawah cahaya temaram ruang tamu, dan matanya yang redup mengarah lurus ke Mira.
Mira menghentikan nyanyiannya, tersenyum canggung pada suaminya yang berdiri kaku di depan pintu. “Bimo! Kamu sudah pulang? Tumben, biasanya malam baru kelihatan!” katanya, mencoba terdengar ceria.
Bimo tidak menjawab, hanya terus memandangnya dengan sorot mata yang sulit diartikan—sesuatu yang dingin, jauh berbeda dari biasanya. Suasana di dalam ruang tamu tiba-tiba berubah, seakan hawa dingin merayap masuk bersama kehadiran Bimo.
Ani, yang sedari tadi mengamati, merasakan kegelisahan yang sulit dijelaskan. Dia menatap wajah Bimo yang kaku, dan ada sesuatu di sana yang membuatnya merasa tidak nyaman. Bimo tidak menanggapi canda Mira; dia bahkan tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Wajahnya tetap keras, hanya sepasang mata dingin yang menyorotkan ketidaksenangan.
Mira mencoba mengalihkan suasana dengan sedikit bercanda. “Kita lagi karaokean, Bim! Mau gabung?” katanya sambil tersenyum, berharap bisa menghangatkan ekspresi suaminya yang terlihat tidak bersahabat.
Namun Bimo tidak bergerak, tidak menjawab, bahkan sekadar tersenyum pun tidak. Hanya ada tatapan tajam yang tak berubah, membuat senyum Mira perlahan menghilang. Ketegangan merayap dalam keheningan yang aneh.
Ani menatap Bimo, lalu ke arah Mira. Merasa bahwa mungkin ia harus pamit saja agar tidak mengganggu, namun ragu apakah ia harus meninggalkan Mira dalam suasana seperti ini. Hatinya mulai bertanya-tanya, apa yang sebenarnya sedang terjadi di antara pasangan ini.
Suasana di ruang tamu seketika berubah hening. Mira dan Ani, yang tadinya tertawa dan bernyanyi penuh keceriaan, kini hanya bisa saling melirik dengan canggung. Bimo berjalan masuk tanpa suara, lalu berhenti di depan mereka. Sekali lagi, pandangannya jatuh pada Mira—dalam, dingin, dan menyelidik, seolah melihat sesuatu yang salah.
Ani merasakan ketegangan dalam sikap Bimo. “Eh, Bimo… mau minum sesuatu? Aku bisa ambilkan,” tawarnya dengan senyum yang sedikit kaku, berusaha mencairkan suasana.
Bimo hanya melirik sekilas, lalu menggeleng pelan, seolah kehadiran Ani sama sekali tak penting baginya. Tanpa menoleh lagi ke arah Ani, dia menatap Mira dengan tajam. “Mira, hentikan nyanyinya. Sudah cukup,” katanya dengan suara rendah, namun penuh penekanan.
Mira tersentak, tak menyangka nada suaminya begitu dingin. Dia mencoba tersenyum untuk menutupi kegugupannya, meskipun dalam hatinya mulai terasa gelisah. “Oh, cuma karaoke kecil ini, Bim. Santai saja, kan?” katanya, suaranya terdengar sedikit gemetar.
Bimo menggeleng pelan, sorot matanya tetap tajam. “Kamu sudah cukup menarik perhatian orang lain,” ujarnya, nadanya lebih tegas kali ini.
Mira terdiam, bingung dengan reaksi Bimo yang seolah-olah acara kecil ini adalah masalah besar. Ani, yang duduk di samping Mira, ikut merasa tegang, meskipun dia tak paham sepenuhnya maksud perkataan Bimo. Bukan hanya kata-katanya yang membuat mereka berdua merasa aneh, melainkan caranya mengatakan itu—dingin, hampir mengancam.
“Bimo… ini kan cuma di rumah kita sendiri,” ujar Mira, suaranya berbisik, mencoba menenangkan suaminya. Namun, ia tahu sesuatu yang lebih gelap sedang bersarang di balik tatapan itu.
Ani hanya bisa duduk kaku di samping Mira, merasa ada masalah yang lebih dalam di antara suami-istri itu. Sesuatu yang mungkin tak pernah ia ketahui sebelumnya.
Bimo masih berdiri mematung, tatapannya tertuju tajam pada Mira, membuat suasana malam yang awalnya ceria kini berubah mencekam. Ani mencoba bersikap tenang, tetapi kegelisahannya semakin sulit ditutupi. Aura yang dibawa Bimo begitu berat dan menekan, seolah menghimpit udara di ruang tamu itu.
Tanpa sepatah kata pun, Bimo berbalik dan melangkah menuju dapur. Suara langkahnya yang berat bergema, terdengar begitu lambat, membuat Mira dan Ani saling menatap, bertanya-tanya apa yang sedang dipikirkan Bimo.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti keabadian, Bimo kembali ke ruang tamu dengan tangan yang kini menggenggam sebuah pisau dapur kecil, terlihat tajam dan berkilat di bawah lampu. Ani menahan napas seketika melihatnya, merasakan bahaya yang semakin nyata. Wajah Bimo terlihat dingin dan tanpa ekspresi, namun matanya memancarkan kemarahan yang tertahan.
“Mira, matikan kameranya,” ujar Bimo dengan nada datar, namun terdengar begitu tegas, hampir seperti perintah.
Mira tertegun. Dia menoleh ke arah ponsel yang masih merekam siaran langsung karaoke mereka. Dengan gugup, dia beranjak ke meja dan menghentikan siaran langsung tanpa perlawanan, menuruti keinginan Bimo. Ani, yang duduk mematung, bisa merasakan jantungnya berdegup keras.
“Sudah cukup main-mainnya,” kata Bimo sambil meletakkan pisau di meja, namun tangannya masih bergetar di dekat gagang pisau itu, seakan sewaktu-waktu bisa meraihnya kembali. “Kamu suka sekali pamer, Mira. Kamu pikir orang-orang peduli dengan apa yang kamu lakukan?”
Kata-katanya membuat Mira merasa terpojok, dan meskipun ia ingin menjawab, rasa takut membuatnya hanya bisa menundukkan kepala. Ani tahu situasi ini sudah jauh dari batas nyaman. Dia mencoba mengambil langkah perlahan untuk berdiri, merasa lebih baik jika ia segera pergi.
“Eh… Mira, aku kayaknya pulang dulu, ya…” katanya pelan sambil melirik Mira penuh kekhawatiran. Ani menatap Mira, berharap temannya itu menangkap isyarat darinya untuk keluar dari situasi ini.
Namun, tatapan dingin dari Bimo menghentikan langkah Ani. “Duduk saja. Belum selesai.” Bimo berkata tanpa mengalihkan pandangan dari Mira.
Ani terdiam, duduk kembali dengan napas yang tertahan, sadar bahwa malam ini akan berakhir sangat berbeda dari yang mereka bayangkan.