Tembi adalah sebuah nama kampung. Namun kini, nama itu justru menjadi brand yang melekat pada sebuah rumah budaya. Rumah Budaya Tembi, demikian nama lembaga ini. Tembi pun kemudian dipilih sebagai simbol kultural yang merepresentasikan keseluruhan lembaga yang sekaligus sebagai ikon dan brand image.
Tembi merupaKan lembaga kebudayaan yang bergerak di bidang pelestarian dan pengembangan kebudayaan. Namun, bukan hanya kebudayaan Jawa yang disentuh, karena Jawa hanyalah salah satu dari keberagaman budaya. Dalam konteks ini, kata Ons Untoro, koordinator lembaga ini, kebudayaan dimengerti dalam dua dimensi. Pertama, kebudayaan sebagai sistem warisan dari sebuah produk masa lalu. Kedua, kebudayaan sebagai sistem produksi, karena setiap zaman mempunyai kewajiban memproduksi simbol-simbol kebudayaan lain yang sesuai dengan jiwa zamannya.
Sejumlah bangunan berarsitektur Jawa menjadi pusat kegiatan lembaga ini. Sesuai dengan salah satu misinya, yaitu menjadikan Rumah Budaya Tembi sebagai laboratorium seni dan budaya, lembaga ini memiliki kegiatan utama yang di-break down dalam beragam kegiatan dengan mengambil spirit kerja Berkelana ddlam Sejarah Budaya. “Bentuk kegiatannya terbagi tiga bidang: dokumentasi, public service, dan penelitian atau kajian budaya,” tutur Ons Untoro. Misalnya membuat dokumentasi beragam pertunjukan kesenian, seperti angguk, jathilan, dan kesenian lain yang tidak begitu populer. Tembi juga memberi perhatian terhadap situs-situs kebudayaan yang tidak terkenal. Alasannya, situs-situs terkenal, seperti Candi Prambanan, Borobudur, Boko misalnya, sudah ada yang mengurusi. Untuk itu,Tembi tidak ikut ambil bagian.
Salah satu situs yang menjadi perhatian Tembi saat ini, misalnya situs Gunung Kelir di Pleret, Bantul. Lembaga ini melakukan penelusuran cerita, memotret, dan menghimpun cerita dari masyarakat. Kemudian, menulis ulang setelah sebelumnya dilakukan kajian secara seksama. Selain itu, mereka juga aktif mengadakan pertunjukan kesenian tradisional, menyelenggarkan kursus bahasa Jawa, macapatan atau pun kursus pranatacara.
Karena lembaga ini tidak mengejar protit biaya kursus terhitung sangat murah. Kursus pranatacara misalnya, biayanya hanya Rr 40.000,- dengan lama kursus 3 bulan Antusiasme masyarakat, dinilai Ons Untoro cukup memuaskan. “Melihat banyaknya masyarakat yang mengikuti kursus-kurus yang kami adakan atau juga besarnya minal kelompok-kelompok kesenian tradisiona untuk tampil dalam pertunjukan di Tembi kami rasa lembaga ini cukup bisa diterima. Begitupun dari pihak pemerintah daerah sendiri yang juga sering mengadakan even kesenian di tempat ini,”lanjutnya.
Dana operasional Rumah Budaya Tembi banyak diperoleh dari dukungan pihak swasta. Pengelolanya sendiri, kata Ons Untoro, bekerja karena didasari kecintaan terhadar kesenian lokal sekaligus kesadaran bahwa kebudayaan harus dilestarikan. Karena itulah perhatian minim yang diberikan pemerintah tidak dipersoalkan. Hanya saja Ons Untorc berharap, pemerintah lebih peka. Daripada membentuk lembaga-lembaga baru yang belum jelas, lebih baik mendukung eksistensi lembaga lama yang sudah terbukti karyanya “Kalaupun ada, yang kami harapkan dari pemerintah adalah dukungan berupa penyelenggaraan even-even kesenian d tempat ini,”tambah Ons Untoro.
Rumah Budaya Tembi yang didirikan 20 Mei 2000 ini berada di Jalan Parangtritis km. 8,4 Dusun Tembi, Timbulharjo Sewon Bantul Yogyakarta.