“Kenapa kita harus seperti ini?” tanya Isnan dengan nada sedih. Tangannya mengepal. Ia seolah-olah hendak mengatakan bahwa ia ingin melakukannya, tapi tak dapat.
Sebuah tangan menggenggam kepalan tangan Isnan. Tangan yang cantik, menggenggam dengan lembut. “Mungkin bagi sebagian besar orang, apa yang kita lakukan ini salah. Tapi bagiku tidak. Kamu berhak bahagia. Aku pun tak ingin melihatmu seperti ini terus.” Nisa kini memberikan senyumnya yang selalu membuat Isnan luluh.
Kini Isnan tak mampu menahan dirinya. Ia begitu terpikat dengan kecantikan dan kebaikan hati Nisa. Keduanya jatuh dalam tatapan yang begitu dalam. Saling mendekatkan wajahnya. Kemudian menikmati sepoi angin pantai. Berhiaskan lentera restoran di belakangnya. Isnan kini mendekap Nisa, kemudian menyentuhkan bibirnya pada bibir Nisa. Mata mereka kini terpejam. Terbalut dalam romansa terindah, bahkan dalam sebuah pelarian. Keduanya terlarut dalam cinta yang tak diharapkan orang lain.
Baca juga:
…
“Kamu ke mana aja semalam?” tanya Riyanti dengan nada tinggi.
“Terserah aku mau ke mana. Bukan urusanmu.” jawab Isnan dengan datar.
“Nan! .. ” Riyanti semakin membentak.
“Cukup! Aku sudah nggak tahan lagi!” Isnan langsung memotong percakapan Riyanti. “Lebih baik kita putus saja!” Isnan sedikit merasa lega setelah akhirnya mengungkapkan kalimat tersulit yang harus ia katakan sejak dulu.
“Oooohh… gitu ya! Sekarang main putus-putusin gitu aja ya?” jawab Riyanti sambil mengangguk-angguk angkuh.
“Kamu lupa? Berapa utangmu ke papaku? Kamu lupa? Kuliah pakai uang siapa?” tanya Riyanti sambil menunjuk-nunjuk dada Isnan. Isnan kini tersudutkan. Papa Riyanti begitu tertarik akan prestasi Isnan. Ia akan membiayai kuliah Isnan, hanya jika Isnan mau menjadi kekasih Riyanti. Ibu Isnan hanyalah seorang buruh cuci piring. Sementara Isnan memiliki cita-cita yang tinggi.
Awalnya Isnan bertanya-tanya, mengapa Riyanti yang merupakan putri dari keluarga kaya sulit memiliki kekasih. Kini Isnan sudah mengetahui jawabannya. Tak ada kebaikan di dalam hati Riyanti. Sebaliknya, Riyanti selalu menganggap dirinya adalah tuan putri yang harus selalu dimanja dan diutamakan. Isnan lebih merasa dijadikan budak dibandingkan kekasih. Tak jarang, Riyanti bermain tangan terhadap Isnan. Ancaman semacam ini juga sudah dihadapinya berulang kali. Dan seperti biasa, Isnan tersudutkan.
“Kamu mau bayar pakai apa hah? Jual diri?!” tanya Riyanti berlagak. “Anak tukang cuci piring aja belagu!” lanjut Riyanti.
“Kalau kamu mau putus, pastikan dulu kamu bisa bayar hutang-hutangmu ke papaku!” tegas Riyanti lalu berjalan meninggalkan Isnan.
Isnan kini tertunduk lemas. Ia mungkin bisa mencintai Riyanti jika seandainya ia berwatak mulia. Tapi, ia tak berkutik ketika diserang dengan kata-kata ‘hutang’. Ia merasa telah mengambil neraka dalam keputusannya 3 tahun silam.
Baca juga:
Ke kafe seusai kuliah adalah hal lumrah yang dilakukan mahasiswa. Yang menjadikan hal itu tak lumrah adalah Isnan harus pergi ke kafe yang lumayan jauh untuk berjumpa dengan Nisa. Sepasang cangkir kopi telah tersedia di hadapan mereka berdua. Suara alunan musik jazz mempermanis pertemuan tegang antara mereka berdua. Isnan sama sekali tak menikmati situasi ini. Terus bersembunyi dalam ketakutannya sendiri.
“Jadi gimana?” tanya Nisa dengan wajah cemas. Melihat air muka Isnan, Nisa sepertinya sudah bisa menebak apa yang sebenarnya akan dikatakan oleh Isnan. Tapi Nisa lebih memilih diam. Berasumsi bahwa segalanya berjalan lancar.
Isnan hanya diam. Tebakan Nisa salah bahwa Isnan akan mengatakan sesuatu. Isnan menarik napas dalam lalu menghembusnya panjang. Tak pernah Nisa melihat Isnan tampak begitu tertekan. Isnan kini mengarahkan pandangannya langsung tertuju pada mata Nisa.
“Kamu percaya aku kan Nis?” tanya Isnan.
“Iya, aku percaya kok!” jawab Nisa sambil tersenyum.
Isnan berdiri. Lalu berjalan mendekati Nisa. Kemudian mengusap-usap kepala Nisa dan membuat wajah Nisa memerah.
“Aku harus pergi.” ujar Isnan, lalu kemudian berbalik ke pintu keluar kafe.