Di hadapanku terdapat sebuah lorong temaram dengan kabut di lantainya. Suasana dingin yang mencekam langsung menyerang hingga menusuk tulangku. Kudengar tidak jauh dari pintu lift, suara tangis seorang wanita, tawa anak kecil, suara erangan dan kertak gigi. Tentu saja tanda-tanda itu membuatku begitu gentar.
Baca juga:
Aku berusaha memencet-mencet tombol lift agar kembali menutup. Tapi tak ada satu pun yang berfungsi. Malah sebaliknya, seolah-olah pintu lift menungguku untuk segera keluar.
Baru saja aku melangkah mundur, enggan untuk keluar, sesuatu mendorongku begitu keras. AKu terjembab keluar dari lift.
“Ting!” lift berbunyi. Ketika aku berbalik, bukan lagi pintu lift yang kulihat, melainkan hanya tembok dengan ornamen hotel.
Kupantau sekelilingku, memastikan ada jalan keluar lain, tapi yang kulihat hanyalah tangga menurun di ujung lorong. Di sisi kiri kanan lorong terdapat kamar-kamar dengan pintu terbuka semua. Sumber semua suara menyeramkan yang kudengar.
Aku berjalan dengan enggan menuju satu-satunya jalan keluar. Tampaknya lorong ini tadi begitu sempit. Tapi ketika aku melangkah rasanya lorong ini bertambah begitu lebar dan panjang. Belum lagi suasanya makin mencekam di sisi kiri dan kanan lorong ini.
Aku melangkah mendekati kamar pertama di sisi-sisi lorong. Aku tak berani melihat. Kudengar suara yang begitu jelas. Sebuah suara yang mengerikan. Isak tangis seorang wanita, dan suara mesin pemintal. Setiap kali pemintal terdengar sedang digerakkan, wanita itu akan terisak. Ketika pemintal terhenti, wanita itu akan berteriak hingga gendang telingaku mau pecah. Rasanya seperti ia berteriak tepat di sebelah telingaku.