Tiga hari sebelum acara peresmian hotelku, aku dan beberapa investor meninjau ulang seberapa megah hotel yang sudah kudirikan ini. Semua sudah dipastikan tak ada cacat. Dari lantai parkir hingga ke rooftop kami tinjau. Sungguh, hotelku menjadi yang termewah di area ini. Aku begitu senang dengan segala pencapaian yang telah kulakukan. Tapi, perasaan senang itu langsung menjadi sebuah keterkejutan kala lift yang kami naiki macet di lantai tiga.
“Kenapa harus lantai tiga?” batinku kesal. Para investor menatapku dengan tatapan kesal. “Ya, jauh lebih mengerikan tatapan marah mereka dibandingkan bertemu dengan setan.” Pertama kalinya aku lega dengan keadaan tidak menguntungkan semacam ini.
Tiba-tiba saja suara musik santai di lift kehilangan tenaganya, seperti kaset yang sudah usang, sebelum akhirnya benar-benar terhenti. Bersamaan dengan itu, lampu lift juga padam begitu saja.
“Mohon maaf! Anda semua jangan panik!” ucapku berusaha menenangkan para investor.
Sayangnya, setelah kusadari, ketika lampu mati, ketiga investor itu rupanya tidak ada bersamaku. AKu meraba-raba ke seluruh penjuru ruang lift. Hanya angin yang kugapai. Tak ada satu tubuh pun kusentuh. Sehelai kain pun tak kurasakan. Suara napas manusia juga tak terdengar.
Belum selesai panik, tiba-tiba wajahku dicengkeram oleh sepasang tangan kasar. Kudengar suara melengking memekik tepat di kedua telingaku.
“KYAAAAA!!!” lantas aku merasa lift bergerak begitu kencang menuju puncak hotel. Semakin kencang lift menuju puncak lantai hotel, kurasakan kakiku semakin berat, seperti tertarik oleh begitu banyak tangan.
Tiba-tiba lift terhenti. Mataku terbuka begitu saja. Tak ada apapun yang menghalangi pandanganku. Lift yang semula gelap gulita kini diterangi oleh warna biru neon, yang entah bersumber dari mana. Kulihat sekelilingku, tak ada mahluk apapun yang tadinya membuatku ketakutan setengah mati.
“Ting!” tiba-tiba pintu lift terbuka begitu saja.