Walau tidak ingin, tetap saja sarannya terus-menerus terpikirkan. Apa sebenarnya yang akan dan tak akan terjadi kalau seandainya aku menyediakan ataupun tidak kamar di lantai 3 nomor 9 itu? Tragedi kah? Hantu kah? Atau? Aku selalu memikirkan itu sebagai tempat ‘transit’ penunggu asli tanah yang aku beli. Lalu aku harus menguncinya rapat-rapat, dan setiap hari harus memberikan sesaji di kamar tersebut. Tapi jika yang ia katakan ‘bukanlah untuk itu’, lantas untuk apa? Mengapa ia tak terus terang saja padaku? Atau.. ia sengaja bungkam sampai aku membayarnya lebih?
“Saya harus membayar anda berapa lagi?” tanyaku di hadapannya. Aku berdiri tepat di depan meja kerjanya.
Ia tertawa kecil, “Mengapa anda tidak duduk terlebih dahulu?” ujarnya dengan tangan yang menunjuk kursi di depan mejanya.