Ma, Bukakan Pintu!
Sore itu, seperti hari-hari sebelumnya, hujan. Tidak ada yang pernah ingat kapan musim kemarau terakhir melanda. Antara mensyukuri dan tidak, tampaknya bagiku musim hujan sepanjang tahun sudah keterlaluan. Namun ketika panas pun diriku mengumpat. Sungguh tidak bersyukurnya diriku ini.
Hari itu seperti biasa, aku ke rumah temanku untuk mengurus sebuah bisnis. Sambil menunggu hujan reda, aku melanjutkan obrolan. Redanya hujan pun tidak membuat langit tampak ceria. Justru makin gelap pekat. Aku berpamitan kepada temanku dan berharap selama perjalanan pulang aku tidak perlu berhenti dan kemudian mengenakan jas hujan untuk melindungi tubuhku dari ancaman basah kuyup.
Baca juga:
Aku tidak tahu mengapa hari ini terasa sungguh suram. Bahkan ketika sampai ke depan rumah mamaku, sekalipun langit sudah terlihat sedikit cerah, namun rupanya rumah mamaku menjadi salah satu titik yang tampak suram di sore itu.
Kulihat jam tanganku. Jarum-jarumnya di balik kaca bundar yang setengah pecah itu masih berada di atas angka lima dan tiga. Entah sudah berapa arlojiku ini setia menemaniku. Sejak SMP hingga aku bekerja arloji pemberian teman baik papaku tetap kugunakan dan kurawat dengan penuh kehati-hatian. Sekalipun ini pemberian dari orang yang tidak dekat denganku, tapi entah mengapa aku merasa ini menjadi salah satu barang pemberian yang paling berharga untukku.