Sebuah Lukisan dan Masa Lalu

“Sedang apa kamu di sini?” tanya ayah Nod penasaran.

“Ansi meneleponku.” jawab Nod singkat. Ayah Nod kini melihat Ara.

“Siapa dia?” tanya Ayahnya.

“Ah dia Ara, teman kampus. Karena libur jadi kuajak.” jelas Nod.

“Kamu tidak boleh menikah! “

Nod dan Ara terkejut. “Ayah tak berhak berkata demikian! Lagipula aku dan Ara tak berpacaran!”

“Ayah tak peduli dengan siapa kamu berpacaran. Kamu juga harus fokus untuk meneruskan bisnis ayah. Jangan terlalu sibuk dengan jurusan senimu itu!” jelas ayah Nod lalu pergi meninggalkan Nod dan Ara terdiam di depan rumah.

Baca juga:

 

Nod dan Ara memasuki rumah. Mereka langsung disambut oleh seorang perempuan paruh baya.

“Selamat datang tuan Nod!” ucap Ansi. “Ah, tumben Tuan membawa teman?” tanya Ansi ketika melihat Ara.

“Ia teman kuliahku. Tak usah repot-repot.” pinta Nod. “Di mana nenek? Bagaimana keadaannya?”

“Nenek ada di taman tengah. Beruntung kemarin ketika ia jatuh di pasar, orang-orang tanggap menolongnya. Tangannya harus digips karena cedera dan sedikit retak tulangnya. Ia sudah rapuh.” jelas Ansi. Nod hanya mengangguk.

“Saya permisi menyiapkan minum ya Tuan.” kemudian Ansi pergi. Sementara Nod mengajakku menyusuri rumahnya yang luas itu.

“Nod… apakah nenekmu jahat?” tanya Ara. Nod menghentikan langkahnya, hendak mendengarkan penjelasan Ara.

“Dari tadi aku merasakan kegundahan hatimu selama di perjalanan. Ketika bertemu dengan ayah, aku merasa ketakutanmu bukan padanya. Tapi ketika saat ini kamu akan bertemu nenekmu, aku merasakan kegundahan yang begitu besar.” jelas Ara.

“Bukan. Ibuku meninggal saat melahirkanku. Sementara ayah sibuk dengan bisnisnya. Nenek adalah orang yang paling peduli denganku di rumah ini. Ia adalah orang yang paling mengerti aku.

“Sejak kecil, apapun yang kugambar untuknya selalu ia puji. Sejak saat itu aku terus berlatih untuk melukis agar nenek senang. Ia selalu menyemangatiku dan itu membuatku terus menerus mencintai hidup melukis.

“Ketika usiaku 11 tahun, Nenekku perlahan kehilangan ingatannya. Kondisinya bertambah parah seiring berjalannya waktu. Mulanya ia lupa dengan Ansi, lalu ayah. Aku tak dapat menerima keadaannya yang seperti ini. Aku merasa kesepian dan tak kuat melihatnya jika ia perlahan tak mengingatku.” Nod mengakhiri percakapannya dengan sedih dan menuju ke taman tengah.

Di koridor Nod dan Ara melihat nenek tengah duduk sambi menatap taman. Ia tak tampak begtiu keriput, juga tak tampak begitu renta. Tapi tubuhnya tetaplah rapuh. Jantung Nod berdegup begitu kencang. Ia memberanikan diri mendekati nenek.

Aresta Nia
Aresta Nia
Penulis. Story teller. Suka musik dan puisi. Aktif menulis sejak 2015.

Latest articles

Related articles

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!