Malam yang sepi menjadi saksi ketika Arin mendadak terbangun dari mimpinya yang manis. Ia merasa mendengar suara yang aneh. Ia tidak tahu pasti apa yang menghasilkan suara tersebut. Namun rasa penasarannya mendorongnya untuk meninggalkan kasur dan mengecek keadaan.
Sesampainya di ruang tamu, matanya langsung tertuju pada sebuah piano tua yang biasa dipajang di ruang tamu. Piano tersebut, yang merupakan peninggalan dari sang kakek, tampak berbeda. Kunci-kunci hitam putihnya yang biasanya terlihat rapi, kini acak-acakan dan terlihat seperti seseorang telah memainkannya dengan kasar.
“Apa suara berisik tadi berasal dari piano ini?” gumam Arin dengan wajah bingung.
Ia teringat betapa sang Ayah selalu merawat piano tersebut dengan hati-hati, karena piano tersebut merupakan barang berharga yang diwariskan oleh kakek mereka. Melihat kondisi piano yang kini berantakan, Arin berpikir siapa yang mungkin telah memainkannya.
Arin kemudian memutuskan untuk membangunkan Ayah dan Ibu, meskipun waktu baru menunjukkan pukul 3 pagi. Saat mereka semua berkumpul di ruang tamu, Ayah tampak sangat terkejut dan sedih melihat kondisi piano tersebut.
“Siapa yang bermain piano ini?” tanya Ayah dengan suara serius. Arin dan dua adiknya, Tia dan Rian, saling menatap. Mereka sama-sama bingung dan tidak tahu siapa yang telah memainkan piano tersebut.
“Mungkin Tia atau Rian yang memainkannya,” ujar Arin dengan suara ragu.
“Bukan aku! Mungkin kak Tia yang memainkannya,” balas Rian cepat.
“Aku juga tidak,” timpal Tia.
Melihat keadaan yang semakin tegang, Ayah kemudian mengambil langkah untuk mencari tahu siapa yang telah memainkan piano tersebut.
“Tahukah kalian, kenapa piano ini sangat berharga?” tanya Ayah dengan suara serius. Ketiganya menggeleng.
“Piano ini memiliki kekuatan magis. Siapapun yang memainkannya tanpa izin akan menerima kutukan,” kata Ayah dengan serius. Meski hanya sebuah cerita, Ayah berharap ini bisa memancing pengakuan dari salah satu di antara mereka.
Arin, Tia, dan Rian saling pandang. Wajah mereka tampak pucat dan khawatir.
“Kalau ada di antara kalian yang bermain piano ini, sebaiknya mengakui kesalahannya sekarang. Kutukan itu tidak akan bekerja pada mereka yang jujur,” lanjut Ayah.
Setelah beberapa detik hening, Tia akhirnya memutuskan untuk berbicara. Ia mengaku bahwa ia yang memainkan piano itu karena ingin merasakan bagaimana bermain piano seperti kakek mereka. Ayah kemudian memeluk Tia dan berjanji bahwa dia akan mengajarinya cara bermain piano dengan benar.
Tia tampak lega dan berjanji akan selalu jujur terhadap apa yang dia lakukan.