Terowongan
Sejak malam penuh teror itu, suasana semakin mencekam bagi Andi, Toni, Raka, dan Wulan. Upaya untuk melarikan diri tampak menemui jalan buntu, dan ucapan-ucapan aneh warga desa masih terngiang di kepala mereka. Mereka kini merasa tak lagi sekadar tamu, tetapi seperti mangsa yang terus diawasi, dicurigai.
Pagi itu, dengan langkah hati-hati, Toni dan Raka menyelinap kembali ke balai desa. Di sana, mereka mencoba mencari petunjuk apa pun yang bisa memberi mereka jalan keluar. Di bagian belakang ruang penyimpanan, di mana banyak naskah lama dan catatan desa disimpan, mereka mulai mengobrak-abrik berkas-berkas kuno, mencari-cari sesuatu—apa saja—yang bisa membantu mereka memahami atau bahkan melarikan diri dari Mojodadi.
Setelah beberapa saat, Raka menemukan catatan tua yang tampaknya ditulis tangan. Salah satu paragraf membuatnya berhenti dan membaca dengan seksama. Isinya tidak sepenuhnya jelas, tetapi kalimat-kalimat yang buram itu menyiratkan sesuatu tentang lorong tersembunyi di bawah tanah.
“Ton, lihat ini,” bisik Raka sambil menunjukkan halaman yang dilihatnya.
Toni mendekat, membaca tulisan itu dengan hati-hati. Mereka menemukan deskripsi samar tentang sebuah terowongan tua, terletak di pinggir sungai di ujung desa. Menurut catatan itu, lorong tersebut konon dibangun oleh warga desa di masa lalu, mungkin sebagai jalan untuk menyelamatkan diri dari bencana atau ancaman.
“Terowongan ini mengarah ke luar desa, semestinya…” Raka bergumam, suaranya setengah berbisik. “Tapi tidak ada yang pernah benar-benar tahu apa yang ada di dalamnya…”
Toni menelan ludah, matanya menatap gelapnya ruangan, seakan-akan ia bisa merasakan kehadiran lorong yang dimaksud. “Kita… kita harus coba. Ini mungkin satu-satunya jalan keluar.”
Keduanya saling bertukar pandang, tahu bahwa apa yang mereka rencanakan mungkin berbahaya, tetapi mereka tak punya pilihan lain. Mereka pun sepakat untuk mengajak Andi dan Wulan dan mencoba kabur melalui terowongan itu malam nanti, saat desa sudah benar-benar sepi.
***
Malam itu, mereka berempat berkumpul di belakang gubug, di mana kegelapan menyelimuti seluruh desa. Dengan suara pelan, Toni menjelaskan rencana kabur kepada Andi dan Wulan, yang mendengarkan dengan penuh ketegangan. Senter sudah disiapkan, dan mereka hanya menunggu waktu yang tepat untuk mulai berjalan menuju pintu kecil di belakang balai desa.
“Kita akan masuk melalui pintu belakang, kalau kita beruntung, kita nggak akan ketahuan,” Toni berkata dengan suara yang hampir tak terdengar, wajahnya tegang. “Ini satu-satunya kesempatan.”
Wulan menggigit bibirnya, hatinya gelisah, tapi ia tahu tak ada pilihan lain. Andi menepuk bahunya pelan, mencoba menenangkannya meski di dalam hatinya ia sendiri dipenuhi kecemasan. Namun, saat mereka akan melangkah keluar dari penginapan, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki.
Seorang warga desa berdiri di sana, memandang mereka dengan tatapan penuh curiga. Mereka semua tercekat, merasa seperti anak-anak yang tertangkap basah melakukan sesuatu yang terlarang.
“Sedang apa kalian di sini?” tanya pria itu, suaranya datar namun ada nada penuh kecurigaan.
Dengan cepat Toni berusaha menjawab, meskipun suaranya terdengar goyah. “Oh, kami… kami cuma mau lihat-lihat. Malam ini terlalu gerah di dalam gubug.”
Pria itu menatap mereka lekat-lekat, wajahnya tanpa ekspresi. Setelah beberapa saat, ia berbalik dan berjalan pergi. Namun, beberapa menit kemudian, Pak Surya muncul, ekspresinya dingin dan keras. Tanpa basa-basi, ia mengamati mereka dengan tatapan tajam.
“Kalian tidak seharusnya berada di sini pada jam segini,” kata Pak Surya dengan nada tegas. “Kembali ke gubug. Di desa ini, tidak aman berkeliaran setelah gelap.”
Mereka mencoba berargumen, tapi Pak Surya tidak memberi mereka kesempatan untuk berbicara lebih jauh. Mereka pun tak punya pilihan selain menurut dan kembali ke gubug dengan hati yang dipenuhi rasa takut dan frustasi. Mereka tahu bahwa rencana mereka gagal.
Setelah kejadian itu, Pak Surya menempatkan beberapa warga desa untuk berjaga-jaga di sekitar gubug mereka. Dua warga desa berjaga di pintu depan, sementara satu orang lagi duduk di dekat jendela belakang. Semua gerak-gerik mereka diawasi dengan ketat.
Andi berdiri di dekat jendela, mengintip ke arah penjaga yang duduk di luar. Perasaan terkurung semakin nyata. Wulan duduk di lantai kamar, menatap jendela dengan mata penuh kecemasan.
“Apa kalian sadar? Kita benar-benar diawasi. Mereka nggak akan biarkan kita pergi,” bisik Raka dengan wajah tegang.
“Bagaimana kalau mereka benar-benar berencana menjebak kita di sini?” Wulan bergumam, wajahnya mulai terlihat pucat.
Andi menatap mereka semua, berusaha tetap tegar, meskipun di dalam hatinya ia mulai merasa putus asa. Namun, Toni masih bersikeras bahwa mereka harus mencari cara lain untuk kabur.
“Dengar, kita nggak bisa tinggal di sini selamanya,” Toni berkata dengan nada putus asa namun penuh tekad. “Kita tunggu sampai penjaga itu lengah, lalu kita coba lagi. Kali ini, kita nggak boleh gagal.”
Mereka semua sepakat, meskipun rasa takut terus menghantui mereka. Diam-diam, mereka mulai mempersiapkan diri, berharap malam ini penjaga akan lengah dan mereka bisa menyelinap keluar menuju terowongan.
***
Tengah malam, ketika suasana desa benar-benar sepi dan penjaga mulai terlihat mengantuk, mereka memanfaatkan kesempatan itu. Satu per satu, mereka menyelinap keluar dari penginapan, berjalan menuju pintu kecil di belakang balai desa. Setelah beberapa saat yang terasa seperti seumur hidup, mereka berhasil sampai ke tepi sungai, dan di sana terlihat terowongan gelap yang tampak seperti jurang tak berujung.
“Ini dia,” bisik Toni, matanya bersinar meskipun wajahnya penuh kecemasan. “Terowongan ini akan membawa kita keluar.”
Dengan langkah hati-hati, mereka masuk satu per satu ke dalam terowongan, senter kecil yang mereka bawa menjadi satu-satunya sumber cahaya. Aroma lembab tanah yang menggantung di udara, dan dinding terowongan yang basah dan dingin membuat mereka bergidik. Lorong itu sempit dan berkelok-kelok, seakan-akan siap untuk menelan siapa pun yang masuk.
Namun, harapan untuk bisa keluar dari desa ini membuat mereka terus berjalan. Napas mereka semakin cepat, dan setiap langkah terasa berat, tapi mereka terus maju, menyusuri terowongan yang gelap.
Setelah beberapa waktu berjalan dalam kegelapan, sinar senter mereka menangkap sesuatu di lantai terowongan. Barang-barang berserakan, tampak berdebu dan penuh tanah. Ada ransel, sepatu, botol air, dan beberapa benda pribadi yang lain.
Wulan berhenti, matanya membesar. “Ini… barang milik orang lain,” bisiknya dengan ketakutan. “Orang-orang yang mungkin pernah mencoba kabur dari desa ini…”
Andi berjongkok, memeriksa sebuah tas yang terlihat usang dan hampir hancur. Di dalamnya, ia menemukan sebuah foto keluarga yang buram, gambar wajah-wajah yang kini hampir tak bisa dikenali. Di lantai, terlihat sebuah jam tangan yang rusak, tergeletak di antara sepatu-sepatu kotor yang tak berpasangan.
“Kita… kita mungkin bukan yang pertama mencoba kabur,” Raka berbisik, ketakutan yang terpendam mulai merayap ke permukaan.
Wajah mereka semakin pucat, menyadari bahwa orang-orang ini mungkin tak pernah berhasil keluar. Mungkinkah mereka juga akan bernasib sama?
Di tengah kegelapan yang semakin pekat, mereka berempat melangkah cepat, senter kecil mereka menjadi satu-satunya cahaya yang menembus kegelapan terowongan. Udara di dalam terowongan semakin terasa berat, dan suara gemeretak samar terdengar di sekitar mereka, entah dari mana asalnya. Setiap langkah yang mereka ambil terdengar menggema, dan gema itu terdengar seperti langkah yang mengikuti mereka, semakin dekat di belakang.
“Kalian dengar itu?” bisik Wulan, napasnya terengah, suaranya bergetar.
Raka mengangguk, matanya terus melirik ke belakang. “Apa ada warga desa yang mengikuti kita?” gumamnya, suaranya semakin kecil.
Semakin mereka melangkah, bisikan-bisikan kecil mulai terdengar di telinga mereka, seolah-olah ada banyak suara yang bergema di dinding-dinding sempit terowongan, membentuk alunan suara yang dingin dan mengancam.
“Mau ke mana? Kenapa tidak kembali saja? Hihihihi…” bisikan itu tiba-tiba terdengar begitu dekat, seakan-akan dibisikkan tepat di telinga mereka.
Andi menoleh ke kiri, lalu ke kanan, tetapi tak ada apa pun di sana. Namun, suara tawa kecil yang dingin dan tak wajar itu terus berlanjut, terdengar semakin nyaring.
Wulan menggigit bibirnya, tangannya gemetar hebat. “Aku… aku dengar dia. Dia tertawa.”
Semakin jauh mereka melangkah, terowongan itu semakin gelap, dan bayangan-bayangan yang tadinya hanya samar kini mulai bergerak sendiri di dinding. Mereka melihat tangan-tangan yang menjulur dari bayangan, meraih dan mencakar-cakar dinding terowongan.
“Beraninya kalian mencoba lari…” suara itu terdengar lagi, semakin mengancam.
Bayangan itu membesar di dinding terowongan, membentuk sosok tinggi yang tampak menunduk ke arah mereka, tatapannya gelap dan wajahnya tanpa ekspresi selain senyum yang menakutkan. Matanya yang kelam menyala redup di tengah kegelapan, memandang mereka seolah menanti saat untuk menerkam.
“BALEK!!!” suara itu berubah menjadi bisikan dari banyak mulut, menggema di sepanjang terowongan dan memekakkan telinga.
Wulan menjerit sejadi-jadinya, Toni meraih tangan Wulan. Menggenggamnya erat bersiap lari. Namun, tanpa peringatan, dinding terowongan di sebelah kiri mereka berubah, seakan ada sesuatu di balik batu yang mulai bergerak-gerak, tangan-tangan yang berwarna hitam mencuat dari celah-celah sempit, menggapai Toni. Rupanya Toni bukan menggenggam tangan Wulan, melainkan salah satu dari tangan-tangan itu.
Raka mundur, wajahnya pucat. “Ini… ini bukan lorong biasa. Mereka… mereka melahap kita!”
“Jangan takut… kalian akan bersama kami… HIHIHIHI!” suara itu lagi, lebih keras, lebih jelas. Sebuah tawa keras yang menyeramkan mengikuti kalimat itu, seolah-olah berasal dari segala arah, memenuhi ruang sempit terowongan.
Andi menelan ludah, terbayang bahwa mereka akan terjebak di sini selamanya bersama sosok-sosok yang mengerikan itu. “Kita harus cepat keluar. Lari, sekarang!”
Toni, yang berjalan paling belakang, menoleh ke arah kegelapan yang mereka tinggalkan. Di sana, sosok menyeramkan mengejar mereka. Tidak tampak berusaha, seolah yakin ia akan menang. Wajahnya hanya samar terlihat, namun senyumnya yang menyeramkan dan haus akan darah itu sangat terlihat jelas di mata mereka.
“Mau ke mana, Nak? Jangan pergi. Bukankah kalian betah?” Bayangan itu berbicara dengan suara yang rendah, tapi setiap kata yang keluar terasa menusuk hati mereka, menciptakan rasa takut yang semakin dalam.
Mereka berempat mempercepat larinya, semakin panik dan ketakutan. Tapi suara-suara itu seakan mengikuti mereka dari setiap sisi, membuat mereka merinding ketakutan.
“Kalian tidak akan pergi ke mana-mana… kalian semua milik Ki Suko…” bisikan itu menyusup ke dalam kepala mereka, membuat mereka semakin lemah dan panik. Tawa nyaring bergema di dalam terowongan, terdengar dari segala arah.
Dengan napas yang semakin berat, mereka terus berlari, berharap terowongan ini berakhir. Namun, sosok itu tampak semakin mendekat, langkah-langkahnya tanpa suara, tapi tatapannya terus memaku mereka.
Dan saat itulah, mereka mendengar teriakan keras di belakang.
“Raka! Wulan! Tolong!” Toni menjerit, dan mereka semua berhenti seketika, menoleh ke belakang dengan panik. Toni yang berjalan paling belakang tampak diseret dengan paksa menjauh dari rombongannya, wajahnya penuh ketakutan saat bayangan gelap mulai mendekatinya.
Wulan menjerit, berusaha kembali ke arah Toni. “Toni! TIDAKK!”
Tapi tepat saat mereka akan mendekat, sosok Toni menghilang begitu saja ke dalam kegelapan. Terowongan menjadi sunyi senyap. Tak ada suara, tak ada jejak Toni, hanya bayangan-bayangan yang bergerak perlahan di dinding.
“TONIIIIIII!” Raka berteriak dengan putus asa, suaranya bergetar. Namun hanya suara gema yang menjawab, seolah-olah terowongan itu telah menelan Toni.
Suasana semakin mencekam. Mereka berdiri mematung, mendengarkan suara-suara kecil yang perlahan-lahan kembali memenuhi terowongan, namun kali ini terdengar semakin menyeramkan, seolah-olah terowongan itu memanggil mereka satu per satu.
“Kalian berikutnya…” suara itu berkata dengan nada yang halus namun mengancam. “Satu demi satu… kalian akan jadi milik Ki Suko…”
Andi merasa tubuhnya menggigil hebat, ketakutan mencengkeramnya. “Kita… kita harus keluar dari sini sekarang.”
Mereka bergegas berlari ke arah ujung terowongan, meninggalkan suara tawa menyeramkan yang semakin jauh di belakang mereka. Namun di dalam hati, mereka semua tahu bahwa Toni telah diambil… dan mereka mungkin akan menjadi korban berikutnya.
***
Begitu mereka berhasil mencapai ujung terowongan, mereka keluar dengan tubuh gemetar. Udara dingin malam terasa menusuk kulit mereka, tapi tak satu pun dari mereka merasa lega.
Andi dan Wulan berdiri terengah-engah, wajah mereka penuh ketakutan, dan mata mereka tak bisa lepas dari kegelapan yang baru saja mereka tinggalkan.
“Mahluk itu… dia mengambil Toni,” Wulan berbisik, suaranya bergetar. “Ki Suko… dia benar-benar ingin menangkap kita satu per satu.”
Andi mengangguk perlahan, menyadari bahwa peringatan itu nyata. Mereka tahu bahwa Ki Suko tak akan berhenti sebelum mendapatkan semuanya. Wajah mereka semakin pucat saat mereka menyadari bahwa teror ini masih belum berakhir—bahkan di luar terowongan, mereka masih bisa merasakan tatapan mahluk yang terus mengawasi dari kegelapan, seakan menunggu saat yang tepat untuk mengambil mereka.