Sebagai tukang, aku mendapatkan pekerjaan untuk membangun rumah baru dengan bekerja sebaik-baiknya. Selama ini banyak yang menganggap remeh pekerjaan tukang. Memperlakukannya selayaknya jongos tanpa menghargai hasil karyanya yang menakjubkan. Adakah satu pun dari kalian yang mampu bekerja sama untuk membangun rumah yang megah? Di saat orang lain menyewa tukang untuk membangun rumahnya, kami akan saling bantu untuk membangun rumah kami masing-masing. Sederhana, tapi hasil karya sendiri.
Sayangnya, yang menghargai kami jauh lebih sedikit daripada yang menyia-nyiakan kami. Akhirnya, banyak orang sekarang malas menjadi tukang. Tukang semakin langka. Dan tarif kami terpaksa menjadi naik. Tak jarang aku menemukan calon pengguna jasa yang mengeluhkan jasa kami mahal. Padahal menurutku itu rasional. Pada akhirnya jika mereka keberatan, kami biarkan ia mencari orang lain. Kemungkinannya cuma dua: ia tak akan mendapatkannya atau ia mendapatkan yang lebih murah namun bekerja secara serampangan.
Tapi ada satu kejadian yang menurutku menyeramkan ketika aku mendapatkan proyek untuk menyelesaikan sebuah rumah yang dibangun dengan tanggung.
Baca juga:
Seorang ibu paruh baya mendatangiku dan memintaku untuk menyarikan tukang lain untuk menyelesaikan rumahnya. Wajahnya tampak masih cantik sekalipun sudah menginjak usia 40-an. Beberapa uban tampak di beberapa helai rambutnya. Senyumnnya begitu manis. Tanda bahwa ia orang yang baik. Tapi aku lebih terkejut ketika mendengarkan perkataan ini dari seorang calong pengguna jasa pertama kalinya.
“Berapapun akan saya bayar mas!” ujarnya.
“Ah bu. Tarif saya sewajarnya demikian.” jawabku menenangkan.
“Tapi mas, saya tak akan keberatan sama sekali jika mas meminta kenaikan tarif. Membangun rumah saya sangatlah rumit.” ucapnya.
“Secara desain rumitkah? Jika saya melihat desainnya saya rasa rumah ibu selayaknya rumah pada umumnya.” jawabku santai. Ibu itu hendak menyela, namun aku memotongnya.
“Sudah bu. Tidak usah dipikirkan. Akan saya carikan orang. Besok saya akan ke rumah ibu. Di.. dusun Harjobinangun ya?” tanyaku memastikan. Ibu itu mengangguk.
“Pokoknya mas. Kalau butuh apa-apa bilang saja ya?” tawarnya lagi. Aku hanya mengajukan jempolku menandakan bahwa semua akan baik-baik saja.
Setelah ibu itu pergi bersama anak laki-lakinya, aku melihat kembali denah rumahnya. Tiba-tiba saja aku menjadi kepikiran. Aneh. Kenapa proyek itu berhenti begitu saja? Melihat ibu itu sepertinya ia adalah orang yang lebih dari mampu. Ia juga terus menerus menawarkan biaya yang lebih sedari tadi. Kenapa ia juga tampak panik tadi?