“Kenapa Van?!” tanya Rimba setelah berlari dengan kencang ke arah tenda mereka.
“ANA MAS! ANA!” seru Vany sambil menunjuk-nunjuk tenda.
Rimba bergegas membuka tenda Ana. Dilihatnya Ana tengah terduduk kaku. Matanya terbuka begitu lebar. Air mata mengalir deras. Namun tak berkedip sama sekali.
“NA?! ANA!” teriak Rimba. “SADAR NA!” lalu Rimba keluar dari tenda.
“Sudah berapa lama Ana gini?” tanya Rimba kepada Vany.
“Nggak tahu mas. Kayaknya pas tadi aku tinggal ambil makan. Pas aku buka tenda, Ana sudah nangis. Terus tiba-tiba teriak kenceng kayak tadi.” jelas Vany.
Semua orang tampak kebingungan. Ana terus-menerus menangis. Matanya tak bekedip sama sekali. Lidahnya tercekat. Mulutnya tertutup rapat.
“Kesurupan ya?” kata orang-orang yang berada di sekitar. Mulai penasaran dengan apa yang terjadi pada rombongan ini.
“PERSETAN LAH! SIAPA SIH YANG BERANI GANGGUIN ANA?!” ucap Rimba dengan kesal lalu masuk kembali ke tenda.
“SIAPA KAMU?! KELUAR NGGAK KAMU?!” teriak Rimba sambil menggoncang-goncangkan tubuh Ana.
“KELUAR KAMU! TUNJUKIN WUJUD KAMU KALAU EMANG BERANI!” Rimba masih terus menggoncang-goncangkan tubuh Ana.
Tiba-tiba Ana menarik napas panjang. Seolah-olah baru saja bisa mengambil napas setelah menyelam di laut yang dalam. Tubuhnya terjatuh lemas di bahu Rimba.
“KELUAR KAMU!” teriak Rimba lagi. Ana pelan-pelan mengangkat tangannya. Lalu menepuk-nepuk Rimba.
“Sudah mas.. Huff.. Huff.. Sudah. Aku sudah.. nggak papa.” ucap Ana dengan napas tersengal-sengal.
“Beneran sudah?” tanya Rimba nggak percaya. Ana mengangguk lemas. Vany menyusul masuk ke dalam.
“Tolong temenin Ana ya? Awasin. Kalau butuh apa-apa panggil aja. Jangan tinggalin tenda sampai besok.” perintah Rimba lalu keluar tenda.
Tak seperti dugaan semua orang. Malam itu sangat damai di tenda Ana dan Vany. Ana tidak lagi diganggu, bahkan ketika tidur.
Sesuatu yang berbeda terjadi dengan tenda yang didiami oleh Rimba dan kawan-kawan. Atau setidaknya, hanya Rimba yang ‘diganggu’ oleh mahluk itu pada malam hari.