Kisah horror ini dibuat berdasarkan kisah nyata. Mohon pembaca untuk bijak dalam menyikapi dan memahami cerita ini.
Aku shock. Beberapa hari yang lalu temanku meninggal. Karena sesuatu yang aku nggak pernah bayangkan.
Semua karena kejadian sepele. Huff..
Sebentar. Mau napas dulu. Tunggu bentar sampai aku siap cerita.
Ini buat kamu yang suka ninggalin kewajiban, nggak pernah doa, atau bahkan melupakan Tuhan. Aku cuma mau ngasih tahu kamu: hati-hati. Semua nama di cerita ini aku samarkan, termasuk temanku.
14 Januari 2022
Aku, Liman, Karin dan 3 kolega lainnya sedang rapat. Kami mendiskusikan proyek baru perusahaan untuk meningkatkan bisnis di masa pandemi lagi. Saat itu kami juga sedang terhubung dengan rekan di kantor cabang. Di tengah-tengah pembicaraanku, tiba-tiba rekan tersebut berujar, “Mohon izin untuk meninggalkan rapat! Sedang gempa.”
Kami semua yang mendengar itu terkejut. Pasalnya kami sama-sama berada di Jakarta. Sedetik kemudian, proyektor di atas kami bergoyang. Lampu-lampu gantung berayun demikian cepat.
“Semua tetap tenang! Berbaris, kita akan lewat tangga darurat untuk turun.” ujar HR sementara gedung terus bergoyang.
Selain panik, teman-teman yang lain ada yang berteriak, “Tangga darurat?!”
Bukan tanpa alasan. Kami berkantor di lantai 20. Jadi kami harus turun tangga sebanyak 20 lantai. Bisa-bisa kaki lepas gara-gara turun tangga!
Aku bisa membayangkan betapa pusingnya karyawan-karyawan yang berada di lantai 40. Sampai di bawah mungkin mereka akan pingsan.
Satu per satu dari kami keluar dari kantor. Lalu berjalan menuju tangga darurat yang tak jauh dari kantor. Kulihat karyawan dari kantor tetangga juga mulai berbaris keluar.
Goyangannya cukup berasa. Ini pertama kalinya aku mengalami gempa di Jakarta.
Kami terus menuruni tangga. Awalnya kami masih dalam rombongan besar. Anehnya tiap turun satu lantai, jumlah rombongan berkurang.
Aku penasaran, ke mana orang-orang ini? Rupanya karena gempa tak lagi begitu kencang, mereka memilih “jalan pintas”. Naik lift dari lantai yang baru mereka datangi. Jalan pintas yang cukup berisiko. Apalagi kita belum tahu akankah ada gempa susulan atau tidak.
Hingga akhirnya, sisa aku Liman, dan Karin yang masih ‘setia’ menuruni tangga.
“Pada ke mana semua sih?!” tanya Liman mulai bawel. Baginya, saat bencana seperti ini harusnya mengikuti protokol yang sudah ada.
“Masa lo nggak perhatiin sih Man? Pada keluar dari pintu darurat! Kayaknya mereka pake lift gara-gara pegel!” balas Karin.
“Kan bahaya?!” ucap Liman.
“Tapi kan lift kita cepet!” balas Karin. Tapi memang benar, hanya butuh kurang dari 1 menit untuk bisa mencapai lantai 20 dari GF.
“Ya udah, ayo kita lewat sini!” kataku sambil membuka pintu darurat. Karin dan Liman masuk terlebih dahulu.
Baru saja aku menutup pintu, aku baru mengetahui kejanggalan. Karin dan Liman terpaku. Tentu saja terpaku, karena lantai yang kami masuki itu terlihat sangat berbeda dengan lantai-lantai lain yang sudah tertata.
Tapi ini.. Terlalu aneh. Menyeramkan. Suwung.
Gelap gulita. Cahaya terbantu oleh kaca gedung yang lebar. Dari pintu darurat hany ada satu jalan setapak. Di sisi menuju lift akses tertutup. Dengan kata lain kami terperangkap.
“Ayo kita balik!” teriakku pada Liman dan Karin. Karin segera mengikutiku. Kubuka pintu untuk kembali ke tangga darurat. Tapi Liman masih saja terpaku. Ia terus menatap sudut kosong di ujung lorong. Lorong yang sangat gelap.
“Man! HEH MAN!” teriakku. “MAN!” aku berteriak dan menyeret Liman. Liman kemudian tersadar dari, entah aku bisa bilang, lamunannya?
Dengan cepat kami turun menuju lantai di bawahnya. Karin mengintip dari balik pintu darurat. Dilihatnya lantai tersebut sudah terisi oleh berbagai macam kantor.
“Aman! Bisa lewat sini!” ucap Karin. Aku dan Liman mengikuti.
Kami bergegas masuk ke lift. Takutnya akan ada gempa susulan saat kami sudah masuk lift. Kira-kira hanya butuh 10 detik sampai akhirnya kami sampai di GF.
Di GF kami sudah melihat orang-orang mulai keluar dari gedung. Berkerumun di titik kumpul. Ada yang rela membawa laptop untuk tetap bekerja atau bahkan meeting. Sungguh dedikasi tanpa kenal maut.
“Kamu kenapa Man?” tanyaku menyentakkan dirinya dari lamunan. Lagi-lagi dia bengong.
“Nggak papa. Nggak papa.” jawab Liman, lalu mengalihkan topik pembicaraan pada gempa yang baru saja berlangsung.
Seminggu Kemudian
Aku duduk di meja kerjaku. Lalu kulihat Liman di seberangku. Ia sedang memegangi kepalanya. Tampak begitu tertekan. Atau lebih tepatnya, tampak ketakutan.
“Man? Kamu nggak papa?” tanyaku.
“Aku mimpi buruk.” jawab Liman.
“Kan cuma mimpi?” jawabku santai. “Makanya doa sebelum tidur!” lanjutku lagi dengan nada mengejek.
“Aku serius! Kayaknya ada yang nggak beres.” balas Lukman. Mukanya terlihat begitu marah karena ucapanku.
“Kenapa sih?” tanya Karin yang baru saja masuk kantor. “Pagi-pagi udah berisik.”
“Nggak tahu tuh, Liman. Marah-marah.” jawabku kesal.
“Kenapa lo man?” tanya Karin dengan nada serius.
“Udah lah, aku ceritain juga loe gak bakal percaya!” jawab Liman sewot.
Karin menaikkan bahunya. Lalu menoleh ke arahku. Aku hanya balas dengan menaikkan alis saja.
“Makanya Man, kamu itu kalau punya Tuhan, ke gereja. Doa. Masa 3 tahun nggak ke gereja bangga?” aku melanjutkan mengejek Liman.
“Kan pandemi?!” balas Liman.
“Ya emang kalau nggak pandemi kamu juga bakal ke gereja?” balasku. Liman tidak menjawab.
“Aku akhir-akhir ini mimpi buruk. Tapi rasanya terlalu nyata.” jelas Liman. Karin mendengarkan dengan serius.
“Aku ngerasa.. Kayak ada yang nempelin aku.” jelas Liman.
“Ya udah ke gereja aja sama gua yuk besok? Siapa tahu pendeta di sana bisa nanganin.” ajak Karin.
“Kita kan beda gereja.” Liman Katolik, sementara Karin Kristen protestan.
“Ya makanya jangan alasan. Ke gereja ya ke gereja aja!” balasku. Tapi Liman bergeming. Dia kelihatan malas sekali berurusan dengan gereja.
Hari itu kami melanjutkan aktivitas seperti biasa. Liman tampaknya tidak ingin membahas lebih jauh soal mimpinya. Semua tampak baik-baik saja, sampai tiga hari kemudian.
“Man! Lo kenapa?” ujar Karin ketika melihat Liman. “Sakit?!” Karin tampak panik. Apalagi akhir-akhir ini kasus Omicron melonjak.
“Nggak, gua gapapa Rin!” jawab Liman.
“Tapi kamu pucet banget.” jelasku.
“Man, kamu dipanggil bos.” kata HR mendatangi meja Liman. Liman berdiri dengan enggan, lalu berjalan gontai menuju ruangan bos.
“Loe yakin dia nggak papa?” tanya Karin.
“Ya paling disuruh PCR.” jawabku cuek. “Nggak mungkin di-SP kan?” lanjutku.
“Anjir! Bukan masalah itu. Yang dia cerita kapan hari itu. Beneran nggak sih?” tanya Karin. Aku hanya menaikkan bahu, tanda aku tak begitu tahu masalah yang dialami Liman.
Tak lama Liman keluar dari ruangan bos.
“Kenapa?” tanya Karin khawatir.
“Disuruh bos PCR.” jawab Liman. Jelas saja, muka Liman pucat, walau tak demam. Semua orang juga tahu itu. Pasti khawatir kalau ternyata dia kena covid. “Cabut dulu ya!” pamit Liman lalu mengambil barang-barangnya dan pergi.
Lusanya, hasil Liman keluar. Dia negatif. Seharusnya kami senang. Tapi kondisi Liman benar-benar berbeda dari kondisi orang sehat. Aku tahu ini ada yang salah.
“Man, sorry kalau aku kayak sewot soal ceritamu. Kamu bisa cerita, aku nggak akan komentar jahat.” kataku pada Liman. Karin juga mengangguk. Kami berdua mendekatinya saat jam makan siang.
“Lo jadi kurus banget dalam waktu singkat. Lo nggak ada gejala covid kan? Walau hasilnya negatif.” tanya Karin. Liman menggeleng.
“Gua mimpi buruk terus.” balas Liman singkat. “Dan itu bener-bener kerasa nyata. Sumpah! Sumpah! Aku bener-bener kayak tergerus!” kata Liman dengan serius. Bahkan matanya tampak berkaca-kaca.
“Lo berdua kan suruh gua ke gereja. Ya udah tuh aku jalanin. Awalnya semua kayak biasa-biasa aja malam itu. Tapi besok malamnya, mimpinya makin aneh.” jelas Liman. Aku dan Karin saling mengernyitkan mata. Kami mulai menyimak cerita Liman.
“Malam ini gua mimpi gua datang di sebuah mall tua. Gua nggak tahu itu mall apa. Yang jelas itu mall jadi satu sama apart.
Terus aku nggak tahu aku harus apa. Aku cuma muter-muter keliling mall. Mall itu penuh sama toko. Tapi nggak ada yang jualan.
Aku nggak tahu kenapa, tapi aku merasa aku harus ke atas. Pas aku jalan ke lift, baru itu, aku lihat ada orang.
Jadi di situ ada 2 lift. Orang-orang pada lari tuh ke lift kiri. Mukanya panik semua. Kayak dikejar sesuatu. Tapi nggak ada yang ke lift kanan.
Ya instingku, aku lari ikutan ke lift kiri dong. Supaya aku ikut rombongan itu. Sampai di depan lift kiri, aku didorong. Katanya aku nggak boleh masuk. Aku disuruh cari cara kabur yang lain.
Nggak lama, lift yang sebelah kanan kebuka. Pas banget lift sebelah kiri nutup. Terus aku denger mereka teriakin sesuatu, tapi aku nggak ngeh mereka ngomong apa.
Di saat bersamaan, aku denger langkah orang yang memecahkan keheningan mall itu. Aku nggak tahu kenapa, aku juga merasa ketakutan. Langsung aku kabur aja dong ke lift kanan.
Sekilas aku liatin, lift kiri nglaju ke lantai berapa tuh. Aku lihat indikator lift berhenti di lantai 10. Ya udah aku berasumsi kalau mereka pasti turun di sana.
Jadi aku naik lift sebelah kanan, berharap aku nemuin lantai 10 juga dari lift itu.”
Liman kemudian terhenti. Ia menarik napas. Aku merasa Liman menganggap mimpinya benar-benar nyata.
“LANTAI 10 NGGAK ADA! NGGAK ADA!” teriak Liman. Membuat seisi kantor menoleh ke arah kami. Karin menepuk-nepuk Liman, berusaha menenangkannya. Liman tampak frustasi. Aku hanya berpikir, ada apa gerangan? Kenapa Liman benar-benar merasa terteror seperti ini?
“Tiba-tiba aku denger suara orang bergumam. Kayak merapal mantra gitu. Terus lift kanan ketutup, tepat sebelum aku berhasil keluar. Aku dibawa ke lantai 51.
Kamu tahu kan apart bos kayak gimana kalau di lantai yang tinggi?” Aku dan Karin mengangguk.
“Aku sempat bernapas lega. Berharap lantai 51 sangat mewah seperti apart bos. Nggak mungkin kan gedung ini lantainya sampai 51 tapi bakal bobrok?
Tapi aku salah. Ternyata pas pintu lift kebuka, yang aku lihat hanya sebuah ruangan gelap. Bener-bener gelap!
Nggak ada lorong-lorong menuju kamar. Yang aku lihat hanya ruangan dengan banyak toko yang sudah usang. Kacanya pecah berhamburan. Debu dan sarang laba-laba ada di mana-mana.
Aku memencet tombol lift supaya menutup pintu dan mengembalikanku ke GF. Bukannya nutup, tapi malah ndorong aku keluar.
Aku menoleh ke belakang. Cahaya yang terang hanya keluar dari lift yang kunaiki tadi. Tapi nggak ada barang seorang pun ada di situ.
Lalu tiba-tiba ada cleaning service lewat. Aku sempat ragu, dia benar-benar manusia atau bukan. Aku berusaha memberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.”
“Terus dia nanggepin?” tanya Karin. Liman mengangguk.
“Dia bilang. Aku harus segera balik ke lift. Kalau nggak, aku bakal nyantol di sini selamanya. Panik dong aku? Aku lari ke lift.
Tapi rasanya pas aku lari ke sana, kakiku kayak berat banget. Napasku berat. Kayak lari di tempat tanpa gravitasi.
Aku ngerasa, kalau jarak lift sama aku harusnya nggak jauh, tapi rasanya jauh banget!
Aku deg-degan banget, sampai akhirnya aku berhasil masuk lift.
Ketika aku balik badan, aku ngliat bapak cleaning service itu sudah terpenggal kepalanya. Ada sesuatu yang memotong kepalanya!
Aku mukul-mukul tombol lift. Berharap pintunya tertutup. Memang benar pintunya tertutup. Tapi lift akan berhenti dan terbuka pada lantai tertentu.
Di lantai 31 lift berhenti. Ketika terbuka, ruangan yang sama tampak lagi. Lalu indikator lift menunjukkan kalau ada 3 orang di dalam lift. Padahal aku hanya sendirian. Setelah itu lift tertutup kembali.
Di lantai 22 lift berhenti lagi. Ketika terbuka, ruangan yang sama lagi dengan lantai 51 yang aku lihat. Indikator lift sekarang menunjukkan kalau ada banyak orang yang masuk, 4-7-20-100!”
Liman kembali mengatur napasnya. Entah kenapa kami ikut merinding mendengarkan ceritanya.
“Tapi aku tetep sendirian! Perlahan aku mulai dengar kasak-kusuk di belakangku. Suara bisikan orang yang sangat banyak. Aku langsung keinget kalian. Aku keinget untuk berdoa. Itu pertama kalinya dalam mimpi-mimpi burukku belakangan ini, aku bisa berdoa dengan lancar.”
“Kamu doa apa?” tanyaku.
“Aku doa Bapa Kami. Tiga kali. Lancar tanpa halangan.” di sini aku melihat Liman tampak merasa lega.
“Aku doa sambil menutup muka. Aku benar-benar nggak berani ngliat apa yang ada di belakangku. Perlahan suara mereka menghilang. Pintu lift kebuka. Aku ngliat, aku sudah ada di depan gereja dengan langit yang cerah. Aku berlari ke arah gereja, lalu aku kebangun.” Liman menarik napas panjang. “Rasanya aku bisa bernapas lega.” jelasnya singkat.
“Kira-kira apa yang bisa kita bantu?” tanyaku pada Liman.
“Entahlah. Aku nggak tahu ini apa. Ya mohon doanya aja deh, kalau aku napa-napa, doain aku selamat di akhirat!” pinta Liman.
“Anjir lo! Nggak ada gitu-gituan!” bantah Karin. “Lo bilang doa Bapa kami bikin beres kan? Ya udah, lo doa aja lebih rajin lagi.” saran Karin diikuti anggukan Liman.
Beberapa minggu semua tampak baik-baik saja. Setidaknya begitu yang aku kira, sampai aku bertemu Liman di toilet cowok. Ia terbatuk-batuk tanpa henti. Kemudian ia memuntahkan sesuatu ke wastafel. Bukan dahak. Tapi darah.
“Man! Kamu yakin kamu nggak covid?!” tanyaku sambil mengambilkan tissue berlapis-lapis. Liman menggeleng, lalu mengguyur darah yang cukup banyak keluar dari mulutnya. Mengambil tissueku lalu menahan sakit di dada.
“Semalam aku ketangkep.” jelas Liman, lalu ia terbatuk-batuk lagi. Aku menepuk-nepuk punggungnya, beraharap itu akan meringankan sakitnya.
“Aku sudah periksa lagi ke dokter. Nggak ada covid, nggak ada penyakit lain. Dokter cuma bilang aku kelelahan.” jelas Liman. Jaga-jaga kalau aku masih nggak percaya.
“Aku yakin betul ini gara-gara mahluk aneh itu. Anak kecil yang suka ketawa. Jalannya melata, tapi cepat. Sekali tatap, langkahku berat sekali. Pas aku berusaha lari, dia lompat dan berhasil nusuk aku pakai pisau di dada. Aku jatuh. Dia sudah hampir narik aku. Tapi seseorang datang dan narik aku. Nglemparin aku ke pintu bercahaya yang dari tadi aku nggak lihat keberadaannya.” jelasnya.
“Siapa?” tanyaku bingung.
“Aku nggak tahu. Tapi dia bilang kalau dia sudah nggak bisa nolong aku lagi. Kalau lain kali aku ketangkap, mungkin hidupku berakhir.” jelasnya.
Aku hanya terdiam. Aku benar-benar nggak tahu apa yang sedang Liman hadapi. Apa ini kerasukan? Guna-guna? Praktek sihir dengan korban acak?
“Aku mau pulang aja hari ini. Badanku rasanya sakit semua.” ucap Liman lalu meninggalkan toilet.
“Liman pulang? Sakit dia?” tanya Karin ketika aku hendak duduk. Aku mengangguk, tapi di saat bersamaan aku bingung.
Sorenya, kami sedang berdiskusi. Tiba-tiba salah satu rekanku menunjuk lampu. “Gempa!”
Gempa lagi? Tumben sekali.
Gempa?! Tiba-tiba aku langsung teringat kejanggalan yang terjadi saat berusaha evakuasi.
“Rin! Kamu ingat nggak kapan hari pas gempa itu kita dari lantai berapa naik liftnya?” tanyaku pada Karin.
“Hmm.. lantai 6 bukan ya?” jawab Karin.
“Ayo ikut aku!” aku langsung menarik Karin ke tangga darurat. Karin tampaknya sadar dengan ajakanku ini.
“Kamu inget kan, pas kita masuk satu lantai yang nggak keurus itu?” tanyaku pada Karin.
“Berarti lantai 7 kan ya harusnya?” tanyaku lagi. Karin mengangguk.
“Bukannya dulu kata Tenant Relation lantai 7 sudah penuh?” Karin mengiyakan. Karin memang yang mengurus renovasi kantor dulu. Dia sempat survey untuk semua lantai. Lantai 7 kata TR memang penuh.
“Kayaknya Liman jadi aneh gara-gara kita ke sana deh.” jelasku. “Kalian ada nyenggol sesuatu atau apa gitu yang seharusnya nggak keubah-ubah gitu?” tanyaku lagi.
Karin berusaha mengingat-ingat. Tapi nihil. Karin tidak merasa baik Liman ataupun dirinya ‘melanggar’ sesuatu.
Kami sampai di lantai 7. Aku merinding. Aku sebenarnya juga takut. Jangan-jangan setelah pintu ini kubuka, justru aku yang kena kutukan itu.
Tapi demi memenuhi rasa penasaran itu, aku tetap membukanya. Kuberanikan diri. Dan..
Lantai 7 penuh dengan tenant. Penuh dengan kantor.
“Emang renovasi kantor sebanyak ini bisa cepet banget?” tanyaku pada Karin dengan gugup.
“Nggak harusnya. Masa sudah sepenuh ini?” jawab Karin.
Tak lama ada mas-mas karyawan lewat. Aku mencegatnya lalu bertanya, “Mas, kerja di kantor itu?”
“Iya mas.” jawab mas tersebut.
“Sudah berapa lama?” tanyaku lagi.
“Hmm.. setahun kali ya?” jawabnya. Aku melongo. Karin bingung. “Kenapa mas?” tanyanya lagi. “Nggak papa mas!” jawabku lalu masuk ke tangga darurat lagi.
“Rin. Beneran lantai 7 kan?” tanyaku memastikan.
“Iya! Kita turun dari lift lantai 6 kok!” jelas Karin.
“Ayo kita coba ke lantai 8, 9, 6, 5. Untuk pastikan di range ini kita benar-benar keluar.” saranku. Kami terpaksa naik-turun tangga gara-gara ini.
Yang aneh adalah, baik lantai 8 & 9, 6 & 5, keempatnya sudah penuh dengan tenant. Tidak seperti pengalaman kami bulan lalu ketika evakuasi.
Sesaat kami jatuh pada kesimpulan, kalau ada yang tidak beres dengan gedung ini. Sampai tiba-tiba, kami samar-samar mendengar suara teriakan.
“Tolong! Tolong!” aku menoleh ke Karin. Memastikan kalau dia juga mendengar suara teriakan yang sama.
“Septa! Karin! Tolong! Tolooong!” teriaknya lagi. “Itu suara Liman?” tanyaku pada Karin.
“Iya. Gua yakin itu Liman.” jawab Karin.
“Tapi dari mana?” tanyaku. Suaranya seperti datang dan pergi begitu saja. Memantul-mantul, tak jelas asalnya dari mana.
“Coba gua telepon Liman.” kata Karin sambil mengeluarkan handphonenya. Setelah beberapa suara sambungan, Liman tidak menjawab panggilan dari Karin. Karin menggeleng-geleng.
“Kita ke apart si Liman aja yuk?” ajakku. Lalu Karin mengangguk.
Sesampainya di apart Liman, kami meminta security untuk menghubungi kamar Liman. Security mengkonfirmasi kalau Liman sudah kembali ke apart dan tidak keluar lagi setelahnya.
Kami memohon-mohon kepada security supaya bisa mengantarkan kami ke unit Liman. Benar saja, sesampainya di depan unit, Liman tidak merespon kami. Kami ketuk-ketuk, tidak ada jawaban.
Beruntung security membawa serta kunci cadangan. Pintu terbuka. Suasana unit tampak begitu gelap. Aku mendengar suara kasur yang berisik.
Liman sedang menggelepar. Tubuhnya kejang-kejang. Karin langsung menghubungi ambulance.
Semua kejadian tampak begitu cepat. Sulit bernapas rasanya ketika mengingat satu per satu memori menyakitkan ini. Aku membopong Liman ke kursi roda dan membawanya ke ambulance.
Sesampainya di Rumah Sakit, Liman dinyatakan koma. Aku juga menghubungi keluarganya.
Pihak Rumah Sakit tidak mendeteksi ada sinyal dari otak Liman. “Mati batang otak” begitu mereka menulisnya. Padahal Liman tidak pernah terbentur apapun sebelumnya. Anehnya, beberapa kali tubuh Liman mengalami kejang.
Sampai akhirnya aku berkata pada ibu Liman, “Beri Sakramen Perminyakan. Mungkin ini yang bisa membantu Liman.” Sakramen perminyakan adalah salah satu pelayanan dari Gereja yang biasa diberikan kepada orang-orang sakit, orang lanjut usia, dan dalam sakratul maut. Tujuannya supaya jiwanya memiliki ‘bekal’ menuju akhirat kalau-kalau meninggal. (Tapi tentu tidak sesederhana itu konsepnya).
Ibu Liman hanya menangis. Tidak ada yang tahu Liman kenapa. Akar masalahnya di mana. Tidak ada yang bisa membantu.
Ibu Liman setuju. Tak lama setelah perminyakan, denyut Liman menghilang. Liman benar-benar pergi untuk selamanya.
Aku nggak tahu apa yang menyebabkan Liman meninggal. Tapi aku tahu, pasti ada yang tidak beres dari gedung kantorku. Mungkin Liman tak sengaja masuk pada jebakan tumbal. Tapi aku sendiri tidak tahu bagaimana cara membatalkannya.
Untuk kamu yang masih mengabaikan kewajiban pada Tuhan, hal-hal gaib seperti ini ada. Orang yang beriman saja masih bisa kena. Apalagi orang-orang yang nggak pernah memakai perisai Tuhan?
Jaga hati, jaga iman, jaga taqwa. Dunia kadang jahat sama kita. Apa lagi kalau sudah bawa-bawa dunia lain ke dunia ini.