“Mmm.. APA? HAMIL?! IBU INI AH!” teriakku panik. “Ciuman aja nggak pernah kok.” lanjutku disusul hela napas dari kedua orangtuaku.
“Gini, mas Dirga itu kan pedagang di pasar. Terus Mas Dirga udah siap mau nikahin Detta kalau Detta udah lulus kuliah nanti. Bapak sama ibu keberatan nggak?”
“Keberatan sama apa?” tanya bapak bingung.
“Ya sama pekerjaannya mas Dirga. Selama ini menantu bapak kan PNS semua.”
“Astaagaaaaa! Jadi kamu itu tiap malam ngurung diri di kamar gara-gara bingung mau jujur sama bapak ibu soal pekerjaan mas Dirga??” ucap ibu keheranan. Aku mengangguk malu.
“Bapak mah setuju-setuju aja. Kan jarang ya kita dapat menantu seorang pengusaha. Siapa tahu suatu saat nanti mas Dirga justru jadi juragan. Lha kan malah kamu bisa lebih seneng Det! Hahahaha!” ucap bapakku.
“Jadi bapak-ibu nggak masalah?” tanyaku kegirangan.
“Sama sekali nggak. Mas Dirga sudah gentle mau memutuskan meminangmu setelah kamu kuliah. Kamu harus menerimanya dengan baik.” nasihat ibuku. Lalu disusul anggukan bapak yang sedang mengelus-elus kumisnya.
“Tapi yang harus kamu ingat, jadi pedagang itu nggak mudah. Banyak ketidakpastian. Kamu harus bisa mendukung Mas Dirga kapan saja. Bahkan mulai dari sekarang.” tambah bapak.
Aku pun melonjak kegirangan. Kemudian memeluk bapak dan ibu. Setelah itu berlari ke kamarku, mengambil handphone dan kemudian menelepon mas Dirga.
Maaf. Nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan area.
Ah, mungkin mas Dirga pulang ke desanya. Di sana memang susah sinyal. Aku ingin mengirim pesan tapi nanti bukan kejutan. Kutunggu besok untuk kutelepon langsung dirinya.
Esoknya kucoba menghubungi mas Dirga lagi. Suara perempuan yang sama menjawab sambunganku. Berapa lama ia akan berada di desanya? Aku bertanya-tanya. Seminggu berturut-turut kucoba menghubunginya tak ada satu pun yang berhasil. Hingga akhirnya, di minggu kedua sebuah nomor tak dikenal menghubungiku.
“Halo?” ucapku berhati-hati, antisipasi jika ini adalah modus penipuan.
“Halo Det?” ucap suara di seberang sana. Aku kenal dengan suara ini.
“Mas Dirga?” tanyaku.
“Iya Det.”
“Aku mau ngomong.” ucap kami berdua bersamaan.
“Kamu dulu aja.” tawar mas Dirga.
“Nggak. Mas Dirga aja deh.” balasku.
“Hufff..” kudengar suara hela napas panjang dari seberang sana. Entah mengapa jantungku berdegup begitu kencang, merasa akan ada yang tidak menyenangkan setelah ini.
Baca juga:
“Tiga bulan lagi aku menikah.” JDERR! Rasanya ada petir yang menyambar hatiku. Membelahnya jadi dua. “Aku baru saja pulang ke desa. Di sana aku bertemu dengan teman kecilku. Kamu tahu kan Det, usiaku hampir kepala 3. Aku harus bersama dengan orang yang mampu memastikan diri.” Seharusnya aku dulu yang menyampaikan pesan.
“Tapi, aku ingin kamu da-..”
“Iya mas, aku bakal dateng kok.” ucapku sambil menitikkan air mata.
“Oh iya, Detta tadi mau ngasih tahu apa?” tanya mas Dirga. Hatiku begitu sesak kala ditanyai tentang itu. Apakah masih diperlukan kabar gembira itu? Aku memutuskan untuk tidak menghancukan rencana perkawinan mas Dirga.
“Nggak apa-apa mas. Bukan hal penting.” jawabku berusaha keras terdengar tegar.
Dan jadilah pada hari ini aku di sini. (Pada akhirnya) tanpa perasaan apapun. Di pesta perkawinan mas Dirga. Ia tampak begitu bahagia bersama dengan istrinya. Aku terharu melihat pasangan baru ini tampak harmonis. Mas Dirga yang baik hati dan istrinya yang lemah lembut.
“Det? Kamu bener Detta kan?” suara seorang pria yang tak asing menyapaku.
“Masih inget aku?” tanyanya.
“Astaga! Hendra!” teriakku kegirangan.
Dan di pesta perkawinan ini, menjadi awal kisah cinta baruku bersama Hendra, kawan lamaku. Kali ini, aku akan berusaha lebih jujur padanya untuk hal-hal yang menyangkut hubungan kami berdua.
Baca juga: