Don’t forget to remember me
And the love that used to be
I still remember you
I love you
…
Entah mengapa lirik itu terngiang di kepalaku sebelum akhirnya aku tersadar. Perlahan-lahan kubuka mataku. Ada sebuah wajah. Awalnya tak jelas, namun perlahan-lahan begitu jelas. Sebuah wajah dengan mata indah dan bulat yang menatapku dengan penuh penasaran. Bibirnya tampak berwarna jambon alami, begitu manis. Rambutnya yang diikat seperti sanggul di belakang membuat dirinya tampak semakin cantik, menyisakan sedikit rambut panjang sebagai pemanis kedua telinganya.
Penasaran dengan kisah sebelumnya? Baca di: Semua Bermula dari Sebuah Sambaran
Masih kagum dengan kecantikannya setelah aku tersadar, kurasakan gerakan aneh terjadi pada pipiku. Rupanya gadis ini sedang menusuk-nusuk pipiku dengan telunjuknya.
“Hei.. kamu sudah sadar? Haloo..??” tanyanya.
Aku langsung terbangun, menarik napas sedalam-dalamnya. Terkejut dengan situasi ini. Aku benar-benar bingung.
“Kamu siapa? Kenapa tidur di sini?” tanya gadis itu, masih berjongkok di hadapanku.
Aku siapa? Aku? Aku tak dapat mengingat siapa diriku. Kepalaku terasa begitu nyut-nyutan. Aku tak tahu apa yang terjadi denganku sebelumnya dan mengapa aku di sini.
“Hei tampan! Kamu siapa? Pakaianmu juga aneh.” tanya gadis itu sekali lagi.
Kulihat apa yang kukenakan. Baju tanpa lengan, celana pendek berwarna merah dengan garis hitam di pinggir-pinggirnya, dan sepatu berwarna biru tua dengan logo centang di sisi-sisinya. Kubandingkan dengan apa yang kukenakan, sekalipun aku tahu itu salah, karena aku pria dan ia wanita. Tapi memang terlalu kontras, gadis ini mengenakan kebaya dan jarik yang begitu tampak wajar untuk digunakan dalam keseharian.
Baca juga:
Ketinggalan dengan awal mulanya mini-novel ini? Mulai dari sini: Don’t Forget to Remember Me – Part 1
“Hmm..” ia beranjak berdiri, menuju sumur yang tak kusadari berada di belakangku. Kemudian menimba beberapa ember air untuk dimasukkan ke dalam kendi yang ia gendong. Aku masih terdiam begitu bingung dengan situasi ini.
“Kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi. Kalau ada umur panjang, boleh kita berjumpa lagi.” katanya melewatiku setelah selesai dengan urusan menimba sumur.
“Kamu tampan, tapi sayang.. sepertinya bodoh..” ujarnya.
“Hei! Aku tidak bodoh!” aku baru sadar kalau baru saja dihina, anehnya kenapa hanya itu yang bisa aku ungkapkan?
“Kalau kamu tidak bodoh, cepat pergi dari sini sebelum matahari terbenam! Pulanglah kalau masih ingin selamat!” ujar gadis itu lalu berjalan meninggalkanku.
Memang benar katanya. Cerahnya langit sudah tampak semakin meredup. Menyisakan warna jingga yang lambat laun ditelan oleh violet dari malam. Senja datang menghampiri. Gadis itu cukup berani menuju ke hutan ini sendiri hanya untuk menimba air sumur.
Dan aku.. masih belum ingat siapa aku dan mengapa aku tertidur di sini. Kuamati sekelilingku. Rasanya hutan ini tak begitu asing. Pertanyaannya masih sama: mengapa aku di sini, sedang apa aku di sini, dan siapa sebenarnya aku?
Masih berpikir keras mengenai jawaban yang paling memungkinkan mengenai diriku dan kehidupan aneh ini, perhatianku langsung teralih begitu saja ketika kudengar suara tawa sekelompok pria, disusul suara teriakan seorang gadis.
Suaranya tak asing lagi. Itu gadis yang baru saja pergi!
Aku bergegas bangkit berdiri. Mengira-ngira begitu saja, ke arah mana gadis itu berjalan. Ia tadi memperingatkanku perihal keamanan, berarti tempat ini sesungguhnya tidaklah aman.
Aku terus berlari, hingga dari kejauhan kulihat beberapa pria bersorak gembira seperti telah mendapatkan buruan yang berharga.
“Ada apa ini? Kita ketiban durian runtuh kah?” tanya salah seorang pria berbadan kekar dengan sebilah golok di genggamannya.
Aku berhenti. Mengendap-endap. Kuawasi dari kejauhan. Jumlah mereka 5 orang. Aku sendirian. Jelas kalah jumlah.
Sekelompok pria itu 2 orang tak mengenakan atasan, hanya celana berlapis jarik dan ikat kepala. Senjatanya sama semua, yaitu golok. Ada yang bertubuh kekar, bertubuh kurus, maupun tambun. Tiga orang lain yang mengenakan atasan berwarna hitam tampaknya memiliki peringkat yang sedikit tinggi, atau sebenarnya kedua orang lain hanya kepanasan? Mereka semua tak mengenakan alas kaki. Kelimanya dengan sikap pengecut berani mengepung gadis cantik itu. Lima orang pria, lawan satu gadis. Hmh. Sungguh tindakan pengecut bahkan jika mereka seorang perampok sekalipun.