“Sudah enak kok bu. Pas banget. Terbaik pokoknya!” jawabku setelah ber-hmm nikmat sambil membuat tanda ‘oke’ dengan ibu jari dan telunjukku.
“Ya sudah kamu mandi. Nana juga mandi. Habis itu kita sarapan.” jawab Ibu itu sambil tersenyum malu. Ia tampak begitu senang masakannya kupuji.
Sore telah tiba. Setelah beristirahat sebentar, dilanjutkan mengurus beberapa administrasi yang diperlukan, entah mengapa aku ingin jalan-jalan. Desa Gamuruh di sore hari tampak begitu nyaman untuk jalan-jalan. Masih banyak pepohonan di sini. Kalau mau berjalan agak jauh, sepertinya aku akan tiba di sebuah hutan. Anehnya jalan menuju sana selalu begitu sepi. Rasanya aku tak pernah melihat orang berjalan keluar ataupun masuk ke jalan setapak yang tampaknya menuju hutan itu.
Nana sedang mandi saat itu. Aku, karena terbiasa berolahraga memutuskan untuk berlari saja menuju ke jalan setapak itu. Entah mengapa sesampainya di sana, aku merasa tertantang untuk uji nyali. Bagaimana kalau aku berlari ke arah hutan.
Jantungku sempat berdebar kencang, takut kalau-kalau masih ada binatang buas di dalamnya. Tapi kemudian rasa takut itu semua kuabaikan. Aku nekat berlari ke dalam hutan melalui jalan setapak yang ada. Barang sebentar saja supaya aku tidak penasaran lagi, pikirku.
Lucu juga, jalan setapak ini dibuat dari batu-batu yang indah dan mulus, tapi tak ada satu pun orang yang terlihat antusias untuk melangkahinya. Kiri dan kanan tampak berbagai macam pohon. Sekalipun ini hutan, suasana warna cokelat tampak lebih mendominasi dibandingkan warna hijau. Mungkin karena matahari saat ini sedang rendah, sehingga kontur warna pohon dan dedaunan akan cenderung lebih didominasi warna cokelat. Jarak antar pohon di sini pun cukup luas, seharusnya orang-orang bisa piknik atau mengadakan semacam festival di sini.
Seharusnya hutan ini bisa menjadi objek wisata. Tapi.. aku merasa semakin aneh. Kenapa tidak tampak aktivitas manusia satu pun? Kendati demikian, kakiku terus berlari membawaku hingga ke ujung jalan setapak.
Ujung jalan setapak itu membawaku pada suatu bundaran. Di tengah bundaran itu terdapat sebuah status dengan patung seorang pria di atasnya. Pria itu menggunakan pakaian khas Sunda dan penutup kepala dari kain. Wajahnya digambarkan sedang berteriak dan mengangkat tangan kirinya menengadah ke atas. Seperti sedang menerima sambaran petir. Anehnya… setelah kuamat-amati, sekalipun sudah berlumut dan agak rusak, wajah yang dipahat tampak tak asing. Itu.. seperti.. wajah..
Wajahku!?
Status tersebut tampaknya memiliki keterangan tertulis di kaki patung. Aku mendekat dan berusaha menyingkirkan butiran-butiran pasir yang terbuat dari dedaunan kering. Setelah bersih, tampak sebuah kalimat yang ditulis dengan aksara Sunda. Entah mengapa, aku bisa membacanya begitu saja.
“Ga-mu-ruh. Yang berjasa dan selalu dinanti.” begitulah kira-kira aku langsung mengucapnya.
Tiba-tiba angin bertiup dengan begitu kencang. Daun-daun yang berguguran kini berputar-putar ke berbagai penjuru. Suara gemuruh terdengar, awalnya samar namun perlahan-lahan semakin kencang disertai dengan awan gelap di sekelilingku. Suasana menjadi begitu dingin dan mencekam. Aku ingin berlari, tapi seperti ada yang menghambat kakiku. Kulihat ke bawah, terlihat banyak tangan berusaha menarikku. Di sisi yang lain tampak juga tubuh-tubuh keluar dari tanah. Sekumpulan mayat hidup kini berusaha menyerangku! Belum selesai aku panik, sekelebatan cahaya dan suara menggelegar menyambarku.
Benar.
Aku disambar oleh petir dengan begitu kencangnya.
Perlahan-lahan kesadaranku menghilang. Samar-samar kulihat mayat-mayat hidup itu langsung menjadi abu.
Lucu.
Di saat semuanya lenyap setelah tersambar oleh petir, rasanya tubuhku tetap utuh…
Bersambung ke: Gadis Cantik dari Antah Berantah
Baca juga: