I can get over anything you want my love
But I can’t get myself over you
…
“Sayang, kita naik bis aja ya?” rengek Nana.
“Tapi kan.. lebih cepet nyetir sendiri Na?” jawabku.
“Kalau nyetir sendiri nanti aku nggak bisa meluk kamu dong di jalan?” rayunya.
“Tumben kamu yang modus?” tanyaku keheranan.
“Kita harus mendukung pemerintah untuk tetap menghidupkan moda transportasi umum!” ujarnya tiba-tiba dengan semangat, seperti mengucapkan pidato untuk perang.
“Iya! Iya!” jawabku sambil menghela napas.
Nana melompat kegirangan. Semakin dekat dengan harinya, semakin riang pula Nana kelihatannya. Tapi ada yang mengganjal hatiku ketika aku menyampaikan lamaranku kepada orangtua Nana kala itu. Bukan. Hanya ibunya.
Penasaran dengan kisah sebelumnya? Baca di Don’t Forget to Remember Me – Part 1
Sebenarnya itu bukan pertama kalinya aku bertemu dengan kedua orangtua Nana. Tapi memang lebih sering bertemu dengan ibunya Nana ketika menjenguk Nana yang kuliah di Malang. Nana sendiri berasal dari Wates. Aku kira itu dulu ada di Blitar atau Kulonprogo, tapi ternyata.. itu adalah sebuah desa yang ada di Kecamatan Gunung Kidul di Bandung. Aku jadi semakin yakin bahwa desa Wates ada di setiap daerah di seluruh penjuru Indonesia. Hmm.. dan juga Gunung Kidul.
Baca juga:
Beberapa kali pula aku menjemput atau mengantar ibunya Nana. Tak jarang kami terlibat dalam obrolan serius mengenai masa depanku dan Nana. Ibunya selalu bersikap netral, tak tampak terlalu mendukung ataupun tak memintaku menjaga jarak dengan Nana. Semuanya wajar begitu saja. Karena aku merasa begitu, maka aku selalu heran ketika Nana beberapa kali berkata,
“Ibu kayaknya lebih sayang kamu daripada aku deh!”
Lantas aku hanya akan selalu menjawab, “Perasaanmu aja kali.”
Tapi ketika hari itu aku datang ke rumah, bertemu dengan kedua orangtua Nana, tampak ada yang janggal pada ekspresi ibunya. Ia tampak melamun dan tidak fokus. Ayah Nana tampak begitu sabar mendengarkan segala tutur lamarku. Sementara ibu Nana, terlihat terkejut pada akhirnya aku berani melamar Nana dan sekilas aku melihat kesedihan di wajahnya.
“Tentu saja kami senang kalau akhirnya kalian akan menikah.” jawab ayah Nana dengan sumringah. “Betul kan. Bu?” lanjut ayah Nana untuk mendapatkan konfirmasi dari istrinya. Ibu Nana terpaku menatapku. Tatapannya seperti mengungkapkan, ‘aku tidak percaya ini’.
“Bu??” kini ayah Nana menyikut istrinya. Ibu Nana tampak terkejut, lalu berucap, “Tentu saja! Tentu saja ini akan sangat membahagiakan!” jawab ibu Nana dengan senyum yang dipaksakan.
Pagi ini, entah mengapa ekspresi ibu Nana begitu menggangguku. Nana yang sedang nyaman memelukku selama perjalanan kini juga mulai terjaga. Tidak lama lagi kami sampai. Tapi kami masih harus naik angkot untuk sampai ke desa Wates. Inilah yang tak pernah kusukai dari perjalanan menggunakan bus. Untung saja aku tidak sendirian.
Kira-kira satu jam lamanya dari terminal menuju desa Nana menggunakan angkot. Beruntung bawaan kami juga tak banyak. Karena kalau banyak, aku akan lebih banyak mengomel pada Nana sepanjang perjalanan. Aku memang tipe pria yang tak pernah ingin repot dan bawel kalau harus direpotkan. Anehnya, Nana selalu tertawa geli setiap kali aku mulai mengomel. Ia selalu bilang kalau aku lebih cerewet dari ‘emak-emak rempong’ yang pernah ia kenal. Lantas ejekannya akan membuatku bungkam selama satu perjalanan mencari kitab suci bersama Sun Go Kong.
Iya, Nana lah si Sun Go Kong itu. Dan aku siluman Kuda yang tak pernah berbicara selama perjalanan itu.
Baca juga:
Tibalah kami di kampung halaman Nana. Sebuah desa yang kini tak lagi begitu terasa ‘kedesaannya’ pun juga tak tampak begitu banyak kemajuan. Seperti berada di tengah-tengah, di sebuah masa transisi. Masa yang menentukan bahwa suatu daerah akan maju karena tidak cepat puas, atau akan begitu-begitu saja karena warganya sudah nyaman dan mapan dengan keadaan semacam itu.